MKMK Disebut Tak Berwenang Batalkan Putusan MK

Minggu 05 Nov 2023 - 21:13 WIB
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA - Tim Advokat Pengawal Konstitusi (APK) mengikuti jalannya proses persidangan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan pembuktian oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Kamis (2/11).
Koorrdinator APK Raden Elang Mulyana menjelaskan sidang pengucapan putusan yang rencananya digelar pada Selasa (7/11) pukul 13.00 WIB diharapkan mempertegas kewenangan MK.
“Menjelang pembacaan putusan ini, APK menyatakan sikap terbuka untuk mengingatkan dan mempertegas kewenangan yang dimiliki Majelis Hakim Kehormatan Konstitusi sebelum dilakukan putusan,” ucap Raden Elang Mulyana dalam keterangan tertulis kepada JawaPos.com, Sabtu (4/11).
Elang menjelaskan, berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Telah dinyatakan secara tegas, MKMK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan atau pembatalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 dalam perkara uji materiil terhadap norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait persyaratan usia Capres-Cawapres,” terangnya.
Elang juga menjelaskan tiga hal mengenai MK dan putusan MK. Pertama, MK merupakan cabang kekuasaan yudikatif yang merdeka, independen, dan bebas dari campur tangan pihak mana pun, serta mempunyai wewenang di antaranya untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Putusan MK bersifat final adalah putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) dalam arti sah memiliki kepastian hukum dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun.
“Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 wajib dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya, maupun masyarakat pada umumnya yang terkait dengan putusan itu mengingat putusan MK yang bersifat final yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang termaktub di dalam konstitusi,” ucapnya.
Kedua, putusan MK tersebut harus dianggap benar dan harus dilaksanakan sebagaimana asas res judicata pro veritate habetur, yakni apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan merupakan akhir dalam proses persidangan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pencari keadilan.
“Oleh sebab itu, demi kepastian hukum Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 harus dilaksanakan,” tegasnya.
Ketiga, MKMK tidak memiliki alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perubahan atau pembatalan pelaksanaan atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagaimana dalam praktiknya MKMK pernah memutus bersalah etik dan memberhentikan secara tidak dengan hormat terhadap mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
“Maka, atas hal tersebut, tidak dapat dijadikan dasar dan alasan untuk melakukan perubahan atau pembatalan pelaksanaan atas Putusan MK,” ucap Elang.
Bahkan, lanjutnya, putusan MK tersebut telah ditindaklanjuti dalam peraturan pelaksana yaitu melalui perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang telah disetujui oleh DPR bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP.
“Oleh sebab itu, telah tepat dan sesuai dengan konstitusi lembaga negara terkait menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut melalui perubahan PKPU di atas,” imbuhnya.
Berdasarkan hal tersebut, tambahnya, APK menyatakan sikap agar MKMK mememeriksa dan memutus perkara sebagaimana Peraturan MK Nomor 1 tahun 2023 Pasal 3 Ayat (2) Majelis Hakim Kehormatan MK berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Agar kiranya MKMK tetap berpegang teguh pada nilai-nilai konstitusi dan hukum yang berlaku, demi kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum, serta mengingat Indonesia adalah negara hukum,” pungkasnya. (jpc/c1/abd)

Kategori :