GRIB Jaya Sambut Positif Penghapusan Presidential Threshold, Usulkan Pengetatan Syarat Partai Politik
Anan Wijaya, Ketua Harian GRIB Jaya, mengusulkan pengetatan syarat pembentukan partai politik untuk mencegah kemunculan partai fiktif pasca penghapusan presidential threshold.-FOTO JAWAPOS -
JAKARTA - Ketua Harian DPP Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, Anan Wijaya, memberikan dukungan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR RI.
Namun, ia mengingatkan agar pembuat undang-undang, khususnya DPR dan pemerintah merancang regulasi yang ketat terkait persyaratan partai politik yang dapat mengikuti pemilu.
Menurut Anan, penghapusan presidential threshold harus diikuti dengan upaya untuk memperketat ketentuan pembentukan partai politik, melalui langkah-langkah konstitusional yang tepat. “Penghapusan presidential threshold harus dibarengi dengan rekayasa konstitusional agar eksekutif dan legislatif dapat memperketat syarat pembentukan partai politik,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Kondisi Politik Indonesia Pasca Putusan MK Soal Penghapusan Presidential Threshold’, yang berlangsung di Jakarta Pusat pada Jumat (17/1).
Anan menyarankan agar partai politik peserta pemilu diwajibkan memiliki kepengurusan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, yakni di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Hal ini diharapkan dapat mengurangi potensi munculnya partai-partai baru yang hanya didirikan oleh ormas, LSM, atau organisasi kemasyarakatan lainnya dengan tujuan politis.
“Ini untuk meminimalisir kemungkinan ormas atau LSM yang dengan mudah mendirikan partai politik tanpa memiliki basis yang kuat di seluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.
Anan juga mengusulkan agar DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu untuk meningkatkan syarat kepengurusan partai politik. Saat ini, UU yang ada mengatur bahwa partai politik peserta pemilu harus memiliki kepengurusan di minimal 75 persen jumlah kabupaten/kota dalam satu provinsi dan di 50 persen kecamatan di satu kabupaten atau kota.
“Kami dari GRIB Jaya mendorong agar syarat kepengurusan partai politik peserta pemilu ditetapkan 100 persen di level provinsi dan kabupaten/kota, dan ini bisa dibahas dalam Omnibus Law UU Politik,” tambahnya.
Anan juga menekankan bahwa pengetatan persyaratan partai politik sangat penting untuk mencegah terulangnya Pemilu 1999, di mana 48 partai politik ikut berkompetisi. Semakin banyaknya partai yang mengikuti pemilu, menurut Anan, dapat memperburuk kualitas demokrasi dan membebani anggaran negara. “Jika jumlah partai politik semakin banyak, maka jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden juga semakin banyak, yang bisa memperburuk sistem pemilu,” ujarnya.
Meskipun demikian, Anan mengakui bahwa penghapusan presidential threshold merupakan langkah positif untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Putusan MK ini memberi kesempatan bagi putra-putri terbaik bangsa untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden dan wakil presiden tanpa terkendala oleh ambang batas 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah.
“Sebagai Ketua Harian DPP GRIB Jaya, saya menyarankan agar pembuat regulasi melakukan rekayasa konstitusi dan memperketat pembentukan partai politik agar tidak ada penyalahgunaan dan agar demokrasi kita semakin baik,” pungkas Anan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pemerintah telah melakukan koordinasi dengan para menteri dan perwakilan partai politik.
Ini terkait menindaklanjuti putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyangkut presidential threshold (PT).
“Memang belum ada rapat koordinasi secara langsung, namun konsultasi antar para menteri dan dengan partai-partai politik telah dilakukan untuk membahas implikasi dari putusan MK terkait Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017,” ujar Yusril di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat.
Menurut Yusril, setelah putusan MK yang menghapus Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur ketentuan presidential threshold, pasal tersebut dianggap tidak relevan dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh karena itu, perlu ada pengaturan baru terkait pemilu.