JAKARTA – Banyak modus transaksi keuangan menjelang pemilu. Laporan terkait calon anggota legislatif (caleg) meningkat dua tahun terakhir. Berikut petikan wawancara dengan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
Apa temuan PPATK mengenai transaksi mencurigakan menjelang pemilu?
PPATK telah menginisiasi pembentukan collaborative analysis team (CAT), pertukaran informasi di antara public sector seperti PPATK, Bawaslu, KPU, dan lembaga pengawas pengatur. Juga, private sector yang meliputi bank dan nonbank seperti money changer, money remittance, dan penyelenggara e-wallet. Tujuannya mewujudkan pemilu-pilkada berintegritas.
Ada banyak temuan dari analisis itu. Misalnya, transaksi keuangan partai politik yang naik 2.400–4.000 persen dengan total transaksi mencapai Rp80,6 triliun. Catatan ini didapat PPATK setelah menganalisis adanya pembukaan rekening baru yang dilakukan pengurus maupun anggota parpol.
BACA JUGA:Indeks Persaingan Usaha Lampung 2023 Masuk Kategori Sedikit Tinggi
Temuan itu wajar atau berpotensi melanggar hukum?
Database PPATK memperlihatkan daftar calon tetap (DCT) menjadi pihak terlapor dalam laporan yang disampaikan ke PPATK. Yang meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir.
Sebagaimana diketahui, laporan disampaikan ke PPATK dalam rangka rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia. Laporan tersebut telah ditindaklanjuti dengan analisis dan pemeriksaan oleh PPATK serta masih terus dilakukan.
BACA JUGA:Wali Kota Bandar Lampung Tinjau 20 Rumah Warga Sasaran Bedah Rumah
Sumbangan finansial ke parpol maupun caleg bukannya sah-sah saja?
KPU telah mengimplementasikan ketentuan lewat Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 yang mengatur dana kampanye peserta pemilu. Selanjutnya, diatur adanya keharusan bagi pasangan calon untuk membuka RKDK yang merupakan rekening pada bank umum untuk menampung dana kampanye dan hanya digunakan untuk kebutuhan kampanye.
Ada pula aturan mengenai batas maksimal sumbangan individu atau korporasi. Namun, dari identifikasi PPATK, mayoritas RKDK memiliki saldo kurang dari Rp 100 juta dan mutasi rekening tidak aktif.
Di sisi lain, PPATK mengidentifikasi terjadinya peningkatan signifikan dari transaksi penukaran valuta asing, penukaran rupiah atau redenominasi dengan sumber dana bukan dari RKDK, dan penggunaan e-wallet dari DCT.
BACA JUGA:Tahun Ini, 700 PNS Pemprov Lampung Pensiun