Wamendagri Sebut Revisi Sistem Pemilu Harus Perhatikan Kepentingan Nasional

Wamendagri Bima Arya. Foto Dok Kemendagri--
JAKARTA – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menilai wacana revisi sistem pemilihan umum (Pemilu) perlu disusun dengan memperhatikan kepentingan nasional serta mempertimbangkan dinamika global.
Ia menjelaskan ketika pada era awal reformasi, semangat bangsa lebih banyak diarahkan pada euforia pembukaan ruang demokrasi.
Tetapi, kini katanya, arah dan tantangan yang dihadapi sudah berbeda, karena Indonesia sedang menatap target besar menuju Indonesia emas 2045.
“Kita harus belajar dari negara-negara lain, di mana sistem demokrasi yang mereka miliki justru menjadi hambatan dalam pencapaian sasaran ekonomi dan kesejahteraan,” ujar Bima Arya dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Minggu (27/7) dikutip dari Antara.
Bima menegaskan arah dan kepentingan nasional menuju Indonesia emas 2045 sudah tergambar dengan jelas, termasuk prediksi-prediksi yang menunjukkan potensi Indonesia menjadi negara maju.
“Karena itu, kita perlu merumuskan sistem politik yang sesuai. Komposisinya harus benar-benar kita pikirkan matang-matang,” ucapnya.
Ia mengingatkan perubahan sistem Pemilu tidak boleh justru membuat kebuntuan politik.
Bima menekankan sistem politik yang ideal dan harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan hilirisasi, dan peningkatan investasi.
Kemudian, Bima juga menyoroti pentingnya mempersiapkan generasi muda untuk berkontribusi di panggung politik nasional, demi menyongsong visi Indonesia Maju dalam dua dekade ke depan.
Ia juga mengingatkan pemisahan waktu antara pemilu legislatif dan eksekutif berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara arah kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Menurutnya, saat ini terdapat sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal perencanaan anggaran.
Keselarasan tersebut memungkinkan tercapainya target pembangunan secara serempak.
"Kalau nanti waktunya dipisah, bisa saja muncul realitas baru, di mana arah kebijakan antara pusat dan daerah kembali berbeda," pungkasnya.(*)