Hasan Nasbi: Pemberian Amnesti dan Abolisi adalah Hak Konstitusional Presiden Prabowo

Kepala Public Communication Office (CPO) Hasan Nasbi menyebut keputusan amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo sebagai langkah menjaga persatuan nasional. -FOTO DISWAY -
TANGERANG SELATAN – Kepala Public Communication Office (PCO) Hasan Nasbi menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada para terpidana korupsi merupakan kewenangan konstitusional Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Hasan mengatakan bahwa keputusan tersebut pasti telah dipertimbangkan secara matang oleh presiden. Ia menilai langkah itu diambil untuk menjaga stabilitas dan persatuan bangsa.
“Presiden pasti sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang untuk mengeluarkan keputusan mengenai abolisi dan amnesti,” ujar Hasan usai menghadiri kegiatan Cek Kesehatan Gratis (CKG) di SMAN 6 Tangerang Selatan, Senin, 4 Agustus 2025.
Lebih lanjut, Hasan menyebut bahwa keputusan tersebut adalah hak prerogatif kepala negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
“Itu hak konstitusional Presiden sebagai kepala negara. Semua pertimbangan sepenuhnya ada di tangan beliau. Presiden konsisten menempatkan persatuan bangsa sebagai prioritas utama. Amnesti dan abolisi adalah instrumen yang bisa digunakan untuk memperkuat itu,” tegasnya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada ekonom Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Menanggapi kebijakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa keputusan Presiden telah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
“Saya ingin menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah dilakukan sesuai ketentuan dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi,” kata Yusril kepada wartawan, Jumat, 1 Agustus 2025.
Ia merujuk pada Pasal 14 UUD 1945 yang menyebutkan Presiden memiliki wewenang memberikan amnesti dan abolisi dengan mempertimbangkan pendapat DPR.
Menurut Yusril, mekanisme konsultasi dengan DPR telah dijalankan oleh pemerintah sebelum keputusan itu diambil.
“Presiden telah mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada DPR dan juga mengutus Menteri Hukum serta Menteri Sekretaris Negara untuk berdialog langsung dengan para wakil rakyat,” jelasnya.
Sebelumnya, Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengabulkan permohonan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto menuai kritik tajam dari penggiat antikorupsi.
Tibiko Zabar, mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan bahwa pemberian pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi merupakan langkah yang kontraproduktif terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
’’Korupsi adalah kejahatan luar biasa dengan dampak luas. Pemberian amnesti dan abolisi pada pelaku korupsi justru memperlemah efek jera dan bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Tibiko juga menyoroti ketidakkonsistenan sikap pemerintah. Ia mengingatkan bahwa sebelumnya, Menteri Hukum menyatakan secara tegas bahwa pelaku korupsi tidak akan mendapat amnesti.
“Fakta hari ini jelas bertentangan dengan pernyataan tersebut. Ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat soal integritas proses hukum,” tambahnya.
Menurutnya, meskipun kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto berbeda, publik cenderung melihat adanya motif politik dalam pemberian pengampunan tersebut.
“Langkah ini menunjukkan adanya intervensi politik dalam ranah hukum. Bukannya menempuh jalur hukum jika ada kekeliruan, malah diselesaikan secara politis,” tegasnya.
Tibiko juga mempertanyakan proses pengambilan keputusan yang dinilai tertutup. Ia menyoroti tidak adanya kejelasan kriteria serta mekanisme pemberian amnesti dan abolisi terhadap para terpidana.
“Proses ini minim transparansi dan akuntabilitas. Publik tidak tahu apa dasar pemberiannya, dan ini mencederai semangat reformasi hukum,” tutup Tibiko.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa seluruh fraksi di parlemen telah menyetujui usulan presiden terkait pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Dalam rapat konsultasi pada 30 Juli 2025, DPR menyetujui surat presiden nomor R43/Pres/07/2025 untuk pemberian abolisi kepada Tom dan R42/Pres/07/2025 untuk amnesti kepada 1.116 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto.
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut kebijakan ini sebagai ’’gempa politik kecil” yang menandai perubahan arah kekuasaan di bawah kepemimpinan Prabowo.
’’Langkah ini tidak semata keputusan hukum, tapi juga manuver strategis. Prabowo ingin memisahkan hukum dari rivalitas politik yang mewarnai era sebelumnya,” kata Rocky.
Ia menilai pengampunan terhadap Hasto dan Tom sebagai respons terhadap tekanan publik serta upaya memperbaiki sistem peradilan yang dianggap bias politik.
Rocky juga melihat kebijakan ini sebagai sinyal pendekatan politik antara Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ia memprediksi PDIP tidak akan mengambil posisi oposisi total.
“Ini bagian dari realignment politik nasional. Setelah ini, kita bisa melihat arah dukungan PDIP dalam forum-forum partai seperti kongres,” ujarnya.
Lebih jauh, Rocky menyebut keputusan ini sebagai awal dari era baru yang berusaha meninggalkan bayang-bayang pemerintahan sebelumnya.
“Prabowo ingin menegaskan bahwa masa pemerintahannya bukan kelanjutan dari era Jokowi. Ia ingin dikenal dengan gayanya sendiri,” tegas Rocky. (disway/c1/abd)