Yusril Ihza Mahendra: Pemerintah Akan Revisi Pasal 222 UU Pemilu Sesuai Putusan MK

Minggu 19 Jan 2025 - 22:29 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menkokumhamipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pemerintah akan menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR. 

Sebagai tindak lanjut, pemerintah dan DPR akan melakukan revisi terhadap Pasal 222 dalam Undang-Undang Pemilu.

’’MK telah memberikan panduan melalui lima prinsip yang disebut sebagai Constitutional Engineering. Pemerintah akan mengikuti panduan tersebut dalam menyusun amendemen terhadap Pasal 222 dan penambahan pasal-pasal baru terkait dengan Pilpres, dengan mengacu pada lima panduan dari Mahkamah Konstitusi,” kata Yusril saat ditemui wartawan, Minggu (19/1).

Yusril menjelaskan bahwa MK telah menetapkan mekanisme persyaratan pengusungan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2029. Salah satu prinsip yang ditegaskan oleh MK adalah tidak boleh ada partai politik atau koalisi yang mendominasi pengusungan calon presiden.

“Misalnya, jika sebuah partai politik memiliki 30 kursi dan bergabung dengan partai yang memiliki 29 kursi, maka calon presiden hanya akan berasal dari dua partai. MK menegaskan, hal tersebut tidak boleh terjadi, karena tidak boleh ada dominasi dalam pengusungan calon,” ujar Yusril.

Lebih lanjut, Yusril mengungkapkan bahwa pemerintah sedang memikirkan cara untuk memenuhi putusan MK dengan mempertimbangkan kemungkinan aturan batas maksimum dalam penggabungan partai-partai untuk mengusung calon presiden.

“Misalnya, kita bisa membatasi jumlah partai yang bisa bergabung. Mungkin batas maksimum 20 persen. Dengan begitu, jika semua partai bergabung, maksimal akan ada lima pasangan calon,” pungkas Yusril.

Diketahui Ketua Harian DPP Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, Anan Wijaya, memberikan dukungan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR RI. 

Namun, ia mengingatkan agar pembuat undang-undang, khususnya DPR dan pemerintah merancang regulasi yang ketat terkait persyaratan partai politik yang dapat mengikuti pemilu.

Menurut Anan, penghapusan presidential threshold harus diikuti dengan upaya untuk memperketat ketentuan pembentukan partai politik, melalui langkah-langkah konstitusional yang tepat. “Penghapusan presidential threshold harus dibarengi dengan rekayasa konstitusional agar eksekutif dan legislatif dapat memperketat syarat pembentukan partai politik,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Kondisi Politik Indonesia Pasca Putusan MK Soal Penghapusan Presidential Threshold’, yang berlangsung di Jakarta Pusat pada Jumat (17/1).

Anan menyarankan agar partai politik peserta pemilu diwajibkan memiliki kepengurusan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, yakni di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Hal ini diharapkan dapat mengurangi potensi munculnya partai-partai baru yang hanya didirikan oleh ormas, LSM, atau organisasi kemasyarakatan lainnya dengan tujuan politis.

“Ini untuk meminimalisir kemungkinan ormas atau LSM yang dengan mudah mendirikan partai politik tanpa memiliki basis yang kuat di seluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.

Anan juga mengusulkan agar DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu untuk meningkatkan syarat kepengurusan partai politik. Saat ini, UU yang ada mengatur bahwa partai politik peserta pemilu harus memiliki kepengurusan di minimal 75 persen jumlah kabupaten/kota dalam satu provinsi dan di 50 persen kecamatan di satu kabupaten atau kota.

“Kami dari GRIB Jaya mendorong agar syarat kepengurusan partai politik peserta pemilu ditetapkan 100 persen di level provinsi dan kabupaten/kota, dan ini bisa dibahas dalam Omnibus Law UU Politik,” tambahnya.

Anan juga menekankan bahwa pengetatan persyaratan partai politik sangat penting untuk mencegah terulangnya Pemilu 1999, di mana 48 partai politik ikut berkompetisi. Semakin banyaknya partai yang mengikuti pemilu, menurut Anan, dapat memperburuk kualitas demokrasi dan membebani anggaran negara. “Jika jumlah partai politik semakin banyak, maka jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden juga semakin banyak, yang bisa memperburuk sistem pemilu,” ujarnya.

Kategori :