BADUNG, RADAR LAMPUNG - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mendorong revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memperkuat kuota keterwakilan perempuan dalam tim seleksi dan keanggotaan penyelenggara pemilu.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, dalam konferensi pers Konsolidasi Nasional Perempuan Pengawas Pemilu di Badung, Bali, pada Minggu (22/12), mengungkapkan bahwa salah satu langkah penguatan tersebut adalah mengganti kata "memperhatikan" dalam pasal yang mengatur kuota perempuan 30 persen menjadi "mewujudkan".
"Pemenuhan kuota minimal 30 persen perempuan dalam penyelenggara pemilu harus diwujudkan, bukan sekadar diperhatikan. Perubahan frasa ini berlaku mulai dari tim seleksi hingga penyelenggara pemilu terpilih, baik di tingkat pusat hingga ad hoc," kata Lolly.
Menurut Lolly, selama ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur kuota keterwakilan perempuan dalam keanggotaan penyelenggara pemilu dengan menggunakan frasa "memperhatikan". Misalnya, dalam Pasal 92 ayat (11) UU 7/2017, disebutkan bahwa komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota harus "memperhatikan" keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
BACA JUGA: Tercatat 65 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Lolly menjelaskan bahwa perubahan frasa "memperhatikan" menjadi "mewujudkan" penting untuk memastikan suara perempuan dalam penyelenggaraan pemilu lebih terdengar dan terwakili. Oleh karena itu, Bawaslu mendesak agar perubahan ini dimasukkan dalam revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
"Secara kelembagaan, kami akan menyampaikan usulan ini dalam rapat pleno dan memberikan catatan reflektif. Proses selanjutnya akan berlangsung di Baleg dan Komisi II DPR," katanya.
Penguatan kuota keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu ini merupakan salah satu rekomendasi Bawaslu yang muncul dalam Konsolidasi Nasional Perempuan Pengawas Pemilu bertajuk "Perempuan Berdaya Mengawasi". Selain itu, Bawaslu juga mengusulkan agar revisi UU Pemilu dan UU Pilkada mendukung kebutuhan dasar perempuan penyelenggara pemilu, seperti hak cuti hamil dan menyusui, terutama pada tahapan-tahapan pemilu.
Bawaslu juga berharap revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat menciptakan lingkungan kerja yang ramah anak dan perempuan, serta menghapus stereotipe gender yang selama ini menghambat keterwakilan perempuan sebagai peserta pemilu.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyoroti rencana penjadwalan pilkada ulang yang nantinya dimasukkan dalam regulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
BACA JUGA:Demo Revisi UU Pilkada, Bintang Emon: Belum 30 Jangan Nyalon Kada, Jangan Ya Dik Ya
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja memberikan sejumlah masukan terhadap rancangan peraturan KPU mengenai tahapan dan jadwal pemilihan ulang 2025. Salah satu masukan utama mengenai jadwal penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan yang semula pada 20 September 2025.
“Disarankan agar jadwal akhir penyusunan Peraturan Penyelenggaraan Pemilihan dimajukan,” ujar Bagja saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPR RI Rabu, 4 Desember 2024.
Bagja menjelaskan, ada kebutuhan untuk memberikan cukup waktu antara penyusunan peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilihan dan waktu pelaksanaannya. Hal ini penting agar peraturan tersebut dapat disosialisasikan dengan baik kepada penyelenggara, peserta, dan masyarakat luas.
Selain itu, Bagja juga memberikan masukan terkait Pasal 4 ayat (1) huruf e dalam rancangan peraturan tersebut, yang menyebutkan pembentukan panitia pengawas kecamatan, panitia pengawas lapangan, dan pengawas tempat pemungutan suara. Ia mengusulkan agar nomenklatur “Panitia Pengawas Kecamatan” diubah menjadi “Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan”, dan “Panitia Pengawas Lapangan” diubah menjadi “Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kelurahan/Desa”.