Bukan Ajang Bisnis dengan Mematok Tarif Masuk Tinggi
BANDARLAMPUNG – Pengamat kebijakan publik dari Universitas Lampung (Unila) Yusdianto menyebut bahwa esensi Pekan Raya Lampung (PRL) 2024 adalah memamerkan kinerja pemerintah daerah (pemda). Bukan ajang bisnis seperti dengan mematok tarif masuk tinggi kepada masyarakat yang ingin melihat langsung even tahunan Pemerintah Provinsi Lampung tersebut.
Pasalnya tidak bisa dipungkiri, PRL 2024 yang dimulai pada 22 Mei hingga 10 Juni mendatang tampaknya tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya dengan harga tiket masuk yang mahal. Belum lagi biaya parkir yang tidak masuk akal, bisa mencapai Rp30 ribu untuk setiap kendaraan roda empat.
Atas hal itulah, Yusdianto pun menyebut Pemprov Lampung lupa akan esensi dan tujuan dari diselenggarakannya PRL tersebut. ’’Pertama yang harus diingatkan adalah esensi dari PRL, yakni menyiarkan hasil pembangunan pemerintah yang ada di Provinsi Lampung. Jadi esensinya adalah memamerkan hasil kinerja pemimpin daerah,” tegasnya, Senin (13/5).
Menurutnya dengan esensi seperti itu, maka unsur pengemasan supaya menarik seperti hiburan musik tidak perlu terlalu difokuskan. ’’Kalau hiburan dan seterusnya itu pelengkap saja. Yang paling penting adalah memamerkan hasil kinerjanya dari capaian para pemimpin. Kalau hiburan itu kan hanya pengemasan agar dilihat lebih menarik atau sifatnya partisipasif. Jadi jangan sekadar memindahkan, katakanlah dari pasar ke pameran, sehingga jadi enggak logis dan enggak bagus,” ucapnya.
BACA JUGA:Layanan Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Dihapus, Penetapan Tarif Iuran Baru Mulai Juni
Dia juga menekankan Pemprov Lampung sudah seharusnya memikirkan hal dasar tersebut. Bukan sebaliknya yang baik oleh pemerintah provinsi maupun pihak ketiga yang ditunjuknya dijadikan lahan bisnis belaka.
’’Jadi kritik kita yang paling mendasar adalah itu, harus dikembalikan pada esensi yang sesungguhnya. Apa tujuan dari PRL itu? Kalau esensinya memamerkan hasil kinerja, maka harus melibatkan semua pihak dan masyarakat yang ingin mengetahuinya tidak boleh bayar. Kalaupun nanti ada biaya tambahan atau sebagainya harus disesuaikan kemampuan masyarakat,” katanya.
Menurutnya ini bukan tanpa sebab. Bila dilihat dari riwayat tahun ke tahun, PRL yang digelar setiap tahunnya bukan semakin ramai, melainkan semakin sepi saja rakyat yang datang. ’’Kita sudah lihat dari PRL-PRL sebelumnya, cenderung sepi karena tarif yang begitu tinggi. Kalau itu mengarah bisnis, maka tidak perlu dinamakan atau diadakan PRL. Lakukan saja Festival Lampung atau sebagainya. Jangan menggunakan agenda provinsi kalau memberatkan masyarakat luas. Apalagi kita tahu kemampuan masyarakat pasca bangkit dari Covid-19 dan El Nino itu belum terlalu baik dan terbatas. Kritik kita paling keras adalah semua pihak di pemerintah provinsi untuk menggratiskan biaya masuk karena ini pameran pembangunan, bukan konser,” ucapnya.
Apalagi karena agenda ini menggunakan dana APBD, menurutnya maka sudah seharusnya pemerintah daerah tidak boleh memberatkan masyarakat. ’’Masak pemerintah tidak bisa memfasilitasi untuk gratis. Masak iya rakyat harus bayar untuk melihat hasil kerja pembangunan pemerintah ýang bekerja untuk rakyat,” tandasnya.
BACA JUGA:Komisaris PLN Arcandra Tahar Kunjungi Lampung, Isi Seminar di Unila hingga Kunjungan Kerja
Serupa disampaikan salah satu manager marketing perusahaan swasta ternama di Bandarlampung. Ia menyebut sewajarnya masuk arena PRL tidak dipungut bayaran. Apalagi, menurutnya, itu banyak menampilkan usaha kecil dan menengah (UKM).
’’Jadi ya harusnya kasih masyarakat melihat dan masuk sebanyak-banyaknya tanpa dibebani biaya. Toh juga kita bayar parkir, panitia juga sudah ada pendapatan parkir. Kan banyak itu,” kata manager marketing yang minta namanya tak disebutkan ini.
Menurutnya kecuali saat ada penampilan artis boleh dipungut untuk tiket karena kan bayar artisnya mahal. ’’Saya pun sepakat jika masyarakat berharap tidak ada tiket di PRL. Seperti kita masuk mal yang mewah dan ber-AC saja gratis, selain bayar parkir,” tukasnya. (mel/c1/rim)