JAKARTA – Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menegaskan bahwa pendidikan politik yang tepat bagi masyarakat sangat penting untuk menghindari polarisasi dalam Pemilu 2024. Menurutnya, masyarakat yang teredukasi akan lebih mampu memilih calon kepala daerah berdasarkan informasi yang akurat, serta memahami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan.
Bagja menyampaikan bahwa tahapan kampanye merupakan saat yang krusial bagi seluruh calon pemimpin untuk meyakinkan publik. Kampanye harus menjadi ruang bagi calon untuk menunjukkan kualitas dan potensi mereka, bukan untuk memanfaatkan isu sensitif seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) atau menyebarkan kebencian dan hoaks.
“Sayangnya, kampanye terkadang disalahgunakan untuk menyerang pribadi pasangan calon melalui politisasi SARA, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks. Taktik ini hanya bertujuan untuk menciptakan ketegangan yang dapat menurunkan partisipasi dan kepercayaan publik terhadap demokrasi,” kata Bagja dalam acara Indonesia Fact-Checking Summit 2024, Kamis (11/7/2024), yang digelar secara daring.
Menurutnya, praktik-praktik tersebut berpotensi merusak integritas demokrasi, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan media sosial yang mempercepat penyebaran informasi. Jika tidak dihentikan, hal ini dapat memperburuk polarisasi yang sudah terlihat pada Pemilu dan Pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019.
Namun, Bagja mengungkapkan optimisme bahwa pada Pemilu 2024, upaya bersama antara Bawaslu, KPU, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil seperti Cek Fakta telah berhasil menurunkan intensitas politisasi SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial.
“Kolaborasi ini berhasil mereduksi dampak negatif tersebut dengan signifikan. Kami percaya bahwa cek fakta adalah kunci untuk menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas,” lanjut Bagja.
Penting bagi masyarakat, lanjut Bagja, untuk terus didorong untuk lebih sadar akan pentingnya verifikasi informasi dalam menjaga kualitas demokrasi.
Masyarakat harus dilibatkan aktif dalam pengawasan pemilu dan berpartisipasi dalam pendidikan politik yang bertanggung jawab.
“Kami mengajak semua pihak untuk ikut berperan dalam pengawasan partisipatif dan melaporkan dugaan pelanggaran yang terjadi, termasuk misinformasi dan politisasi SARA di media sosial,” tegasnya.
Sebelumnya Anggota Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) Lolly Suhenty mengungkapkan bahwa setiap tahapan dalam proses pemilihan memiliki potensi kerawanan yang harus diantisipasi dengan baik.
’’Setiap tahapan pemilu memiliki kerawanan yang perlu diwaspadai dan segera diantisipasi,” kata Lolly dalam keterangannya, Kamis (7/11).
Menurutnya, kerawanan tersebut timbul akibat dinamika politik yang terus berkembang di masyarakat. Baik di tingkat nasional maupun daerah, perubahan situasi politik dapat memengaruhi proses pemilihan dan berpotensi menimbulkan ketegangan atau masalah dalam pelaksanaannya.
“Kerawanan dalam pemilihan tidak hanya berasal dari aspek teknis, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang terjadi, baik di tingkat nasional maupun di daerah,” tambah Lolly, yang sebelumnya menjabat sebagai Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat.
Sebagai Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu RI, Lolly juga mengingatkan jajaran pengawas pemilu untuk tetap peka terhadap segala dinamika sosial-politik yang terjadi, yang bisa mempengaruhi pelaksanaan Pemilu.
“Pengawas pemilu harus terus memantau dan mengawasi setiap tahapan, agar tidak ada celah yang memungkinkan gangguan dalam proses pemilihan. Jika pengawasan ini tidak dilakukan dengan baik, maka besar kemungkinan akan ada dampak yang mengganggu integritas penyelenggaraan Pilkada 2024,” pungkas Lolly, yang sebelumnya juga pernah menjadi Redaktur Berita di Pers Mahasiswa Suaka Sunan Gunung Djati.