Tidak hanya itu. AKP Andri juga mengungkapkan uang yang ia dapat dari upah mengantar sabu digunakan seluruhnya untuk operasional kantor. Sebab, selama ini operasional untuk pengembangan kasus dan biaya penyelidikan kekurangan.
Bahkan, ia membeli mobil Ford senilai Rp172 juta dari Fredy Pratama untuk operasional penangkapan. Menurutnya di Satresnarkoba Polres Lampung Selatan tidak ada mobil operasional, sehingga hal itu menjadi tanggung jawab risiko jabatannya.
’’Selama ini pakai mobil saya kalau penangkapan. Itu tanggung jawab saya sebagai Kasat," ungkapnya.
Mendengar jawaban AKP Andri, Hakim Ketua Lingga kemudian menyatakan bila pernyataannya justru mendiskreditkan negara seperti kekurangan uang. ’’Anda selalu bilang untuk operasional kantor. Seolah-olah negara ini kurang duit dan tidak memberikan fasilitas, sehingga merestui Anda berbuat jahat," tandasnya.
Pada persidangan sama dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (11/1), KIF mengatakan bila dirinya diberi pilihan apakah digaji bulanan atau mendapat keuntungan 4 persen dari penjualan narkoba Fredy Pratama saat menjadi operator memilih untuk diupah dengan keuntungan 4 persen. Namun ketika hakim anggota Agus Windana menanyakan berapa nominal uang 4 persen setiap bulan yang diterimanya, KIF mengaku tidak tahu.
"Saya kasbon sama Fredy setiap bulan Rp100 juta. Saya nggak pernah totalin berapa (4 persen)," kilah KIF.
Uang tersebut diakuinya habis setiap bulan untuk kehidupan sehari-hari. Namun, Hakim Ketua Lingga Setiawan mengaku tak percaya dengan pengakuan KIF yang hanya mendapat Rp100 juta.
Majelis hakim pun membacakan BAP pengakuan KIF bila penjualan bulan Mei 2023 sebanyak 150 kg sabu dengan nominal Rp61 miliar. "Coba kita bagi berapa 4 persen dari Rp61 miliar. Artinya dari Rp61 miliar itu kamu dapat Rp2,4 miliar," katanya.
Hakim kemudian bertanya lagi ke mana uang-uang tersebut? Sebab tak mungkin uang sebanyak itu habis. KIF mengaku uang itu juga untuk bermain judi dan perempuan. Namun lagi-lagi hakim tak percaya.
"Kasus kejahatan seperti ini kebanyakan menyembunyikan hartanya. Jujur saja, kalau mengaku menyesal ya sampaikan. Kasih semua untuk negara," kata hakim Lingga Setiawan. Namun, KIF bersikukuh uang-uang keuntungan narkoba itu sudah habis ia gunakan. Hakim pun kemudian berkomentar kenapa kasus itu penyidik dan jaksa tidak menerapkan untuk pasal pencucian uang.
Majelis hakim juga bertanya bagaimana awalnya KIP menjadi orang kepercayaan Fredy Pratama? Awalnya KIF adalah kurir untuk mengantar sabu dari Jakarta ke Makassar. Ia tiga kali mengantar sabu ke Makassar.
Karena menjadi DPO, KIF kemudian diperintah untuk kabur dari Makassar. KIF kemudian kabur ke Jogjakarta. Di sana, ia kemudian ditawari lagi oleh Fredy Pratama. Ia kemudian diminta bekerja dari Malaysia untuk menjadi operator pengendali para kurir sabu.
Meski menjadi DPO, KIF tetap bisa membuat paspor di Jogjakarta dengan nama asli. "Buat paspor, gimana ceritanya DPO buat paspor?," tanya hakim Lingga Setiawan.
Ia membuat paspor kemudian terbang ke Malaysia. Di sana, ia bertugas sebagai operator. (nca/c1/rim)