’’Walaupun belum menemukan atau mendapat laporan, kami terus melakukan patroli guna mencegah terjadi pelanggaran Pilkada 2024 di tempat yang rawan mengumpulkan massa atau di jam-jam yang ada kegiatan,” ungkap Oddy.
Terkait STTP (surat tanda terima pemberitahuan), Ody mengaku baru menerima dari calon wali kota nomor urut 2, yakni pasangan Eva Dwiana-Deddy Amarullah.
’’Paling banyak melakukan pengawasan melekat adalah pengawas kelurahan dan panwascam yang berada di lokasi ketika memang sudah STPP mereka akan datang,” katanya.
Dia akan fokus melakukan pengawasan untuk memastikan kampanye calon kepala daerah sesuai jadwal yang ditetapkan oleh KPU Bandarlampung yang sudah dibuat zonasi.
’’Kami melihat bahan kampanye yang dibagikan apakah hal itu atribut kampanye yang sesuai atau tidak. Termasuk kampanye menggunakan fasilitas negara atau tidak,” bebernya.
Untuk di media sosial (medsos), pasangan calon sudah membuat akun yang didaftarkan ke KPU untuk memposting kegiatan. Khusus medsos, Bawaslu memantau apakah ada unsur kampanye hitam atau tidak.
’’Kami sudah memberikan tugas kepada jajaran Bawaslu untuk memantau setiap medsos,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lampung menekankan kepada seluruh kepala desa (Kades) yang ada di Sai Bumi Ruwa Jurai netral dalam pilkada serentak 2024.
Kordiv Penyelesaian Sengketa Bawaslu Lampung Gistiawan menjelaskan ada proses-proses penegakan hukum terhadap kepala desa yang melanggar netralitas.
Proses penegakan hukum terhadap kepala desa yang melanggar netralitas dalam Pilkada melibatkan beberapa langkah.
Yakni, pengawasan oleh Bawaslu. Di mana, Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran dan melakukan kajian untuk memastikan kebenarannya.
Kemudian, emeriksaan dan Rapat Sentra Gakkumdu. “Jika terbukti melanggar, kasus tersebut dibahas dalam Sentra Gakkumdu yang melibatkan Kejaksaan dan Kepolisian untuk menentukan sanksi,” tandas Gistiawan, melalui keterangan yang diterima Jumat 27 September 2024.
Gistiawan melanjutkan, Kepala desa dapat dikenakan sanksi administratif (teguran lisan/tertulis, pemberhentian sementara) atau sanksi pidana (penjara dan denda) sesuai dengan UU No.10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daeah dan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. (jpnn/abd)