Pejabat Pinjam Uang Bank demi Setoran Gubernur Riau
OTT: Gubernur Riau Abdul Wahid (kiri) dan Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau M. Arief Setiawan (kanan) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih. -FOTO BERITASATU -
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap temuan mengejutkan di balik kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau diketahui terpaksa meminjam uang ke bank, bahkan sampai menggadaikan sertifikat tanah pribadi demi memenuhi permintaan setoran sang gubernur.
Pelaksanatugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan uang yang diberikan kepada Abdul Wahid bukan berasal dari anggaran proyek pembangunan maupun pihak swasta, melainkan hasil pinjaman pribadi para bawahannya.
“Dari keterangan kepala UPT, dana setoran itu murni dari pinjaman pribadi. Ada yang meminjam ke bank, menggunakan tabungan sendiri, bahkan sampai menggadaikan sertifikat tanah,” ungkap Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Ironisnya, praktik pemerasan ini terjadi saat kondisi keuangan daerah sedang terpuruk dengan defisit mencapai Rp 3,5 triliun.
Menurut Asep, seorang kepala daerah seharusnya menunjukkan empati terhadap situasi tersebut, bukan justru menambah beban bawahannya.
“Bayangkan, daerah sedang defisit, tapi para pegawainya diminta menyetor uang pribadi. Pemimpin seharusnya menjadi teladan, bukan menambah penderitaan orang lain,” tegasnya.
KPK mengungkap bahwa Abdul Wahid meminta “jatah preman” sebesar 5 persen dari total anggaran proyek di Dinas PUPR-PKPP, atau sekitar Rp 7 miliar.
Permintaan tersebut disampaikan melalui Kepala Dinas berinisial MAS dan Sekretaris Dinas FRY.
Setelah adanya kesepakatan, pengumpulan dana berlangsung dalam tiga tahap antara Juni hingga November 2025, dengan total mencapai Rp 4,05 miliar.
Pada tahap pertama, FRY berhasil mengumpulkan sekitar Rp 1,6 miliar dari para kepala UPT.
Atas perintah MAS, sebagian dana sebesar Rp 1 miliar diserahkan kepada Abdul Wahid melalui tenaga ahlinya, DAN, sementara sisanya, sekitar Rp 600 juta, diberikan kepada kerabat MAS.
Beberapa bulan kemudian, pada Agustus 2025, dilakukan setoran kedua senilai Rp 1,2 miliar.
Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan internal, termasuk Rp 300 juta yang diberikan kepada sopir MAS serta Rp 375 juta untuk proposal kegiatan fiktif.
Sedangkan pada tahap ketiga, yang berlangsung pada November 2025, Kepala UPT Wilayah III berhasil menghimpun sekitar Rp 1,25 miliar.
Dari jumlah itu, Rp 450 juta diserahkan kepada Abdul Wahid melalui MAS, sementara Rp 800 juta diduga diberikan secara langsung kepada gubernur.
Menurut Asep, praktik tersebut sudah menjadi rahasia umum di kalangan pegawai dinas dan bahkan dikenal dengan istilah “jatah preman”.
Mereka yang menolak menyetor disebut mendapat ancaman mutasi atau pencopotan jabatan.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya praktik pemerasan dalam proses penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan tahun 2025.
Berdasarkan hasil penyelidikan, pada Mei 2025 terjadi pertemuan antara FRY dan enam kepala UPT wilayah I–VI Dinas PUPR-PKPP di sebuah kafe di Pekanbaru.
Dalam pertemuan itu dibahas kesanggupan memberikan “fee” kepada gubernur sebagai imbalan atas tambahan anggaran proyek dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Awalnya, besaran fee disepakati sebesar 2,5 persen.
Namun, permintaan tersebut dinaikkan menjadi 5 persen atas instruksi langsung dari MAS, yang merupakan tangan kanan Abdul Wahid.
KPK kemudian melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (3/11) dan mengamankan MAS, FRY, serta lima kepala UPT wilayah.
Dalam operasi tersebut, penyidik turut menyita barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 800 juta.
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengumumkan penetapan tiga tersangka utama, yakni Abdul Wahid selaku Gubernur Riau, Muhammad Arief Setiawan (MAS) sebagai Kepala Dinas PUPR-PKPP, dan Dani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur.
Ketiganya langsung ditahan untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK saat digiring menuju ruang konferensi pers bersama dua pejabat bawahannya. (*)