Eriko juga mengamati bahwa saat ini Jawa Timur didominasi oleh dua poros politik, termasuk poros incumbent yang diwakili oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak, yang telah mendapatkan dukungan dari enam partai politik seperti Demokrat, Gerindra, Golkar, PAN, PSI, dan Perindo.
Meskipun demikian, Eriko meyakini bahwa peluang untuk mengalahkan incumbent tetap terbuka, mengingat PDIP dan PKB merupakan partai pemenang dalam beberapa pemilu terakhir di Jawa Timur.
Mengenai usulan dari PKB mengenai duet Marzuki-Risma, Eriko menegaskan bahwa segala kemungkinan masih terbuka. Namun, dia menekankan bahwa kader-kader PDIP seharusnya lebih tepat berada di posisi calon gubernur, mengingat ketokohan mereka yang sudah mencapai tingkat nasional.
Risma, Pramono Anung, dan Azwar Anas, sebagai contoh, memiliki pengalaman sebagai menteri.
“Apakah Mas Pramono bersedia menjadi wakil gubernur? Atau Bu Risma?” tambahnya. Meskipun demikian, dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi tergantung pada kesepakatan yang tercapai.
Masyarakat sipil tetap waspada terhadap potensi kecurangan dalam pilkada, dengan beberapa indikasi yang memperkirakan bahwa praktik yang terjadi selama pemilu presiden dapat terduplikasi pada pilkada.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menjelaskan bahwa ada tiga indikasi yang mengarah pada potensi tersebut.
Pertama, adanya indikasi bahwa Jokowi melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) cawe-cawe dalam pilkada, yang dapat mempengaruhi dinamika koalisi politik.
Kedua, strategi yang diduga didorong oleh Jokowi untuk mengusung calon tertentu demi menghadang pesaingnya.
Ketiga, potensi penyelewengan demokrasi dan konstitusi melalui politisasi bansos dan praktik politik uang, serta isu netralitas TNI-Polri dan konflik kepentingan ASN. (jpc/c1/abd)