BEBERAPA tahun silam, R. William Liddle (2018), profesor Emeritus Ohio State University, memaparkan argumentasinya mengenai ketidakmampuan politik kartel untuk menjelaskan kemunduran demokrasi di Indonesia. Alasannya cukup sederhana. Di mana di situ ada oposisi, argumentasi adanya politik kartel terbantahkan.
Tampaknya kita perlu meninjau ulang analisis tersebut. Apalagi jika dihubungkan dengan situasi Pemilu 2024. Saat ini bisa dikatakan, politik kartel secara terang benderang sedang diperlihatkan para elite. Bahkan, Boni Hargens (2019) dalam disertasi PhD-nya mengistilahkan kartelisasi oligarkis yang merujuk kawin silang antara politik kartel dan oligarki yang saat ini terjadi di Indonesia.
Secara singkat, politik kartel bisa dimaknai adanya jejaring kolusif partai/aktor politik untuk mendapatkan keuntungan dari proses politik. Politik kartel ditandai dengan sengitnya pertempuran politik prapemilu untuk mengambil hati suara rakyat. Namun, mendadak sunyi senyap pascapemilu karena semua partai politik saling bekerja sama untuk bisa mendapatkan kue kekuasaan. Secara jangka panjang, politik kartel bisa dilihat dari sulitnya rakyat untuk mengambil jarak dan ’’menghukum’’ petahana atas ketidakmampuan mereka menjalankan pemerintahan. Sebab, tidak ada opsi tandingan/oposisi yang cukup kuat. Dengan kata lain, susah mengidentifikasi adanya partai politik oposisi karena mayoritas partai berada di dalam koalisi jumbo.
Persekongkolan itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, koalisi besar menguatkan posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sehingga tidak ada gangguan politik selama menjabat. Dengan begitu, kebijakan prorakyat akan lebih mudah dan cepat diimplementasikan. Namun, di satu lain, politik kartel itu cepat atau lambat akan mematikan aspek transparansi dan akuntabilitas menjadi kolusif dan sarat kepentingan. Dengan dalih konsolidasi nasional, politik kartel itulah yang dikhawatirkan membuat sistem checks and balances tidak berjalan dengan baik. Lebih lanjut, koalisi gemuk juga sarat akan dinamika internal dalam pembagian kue kekuasaan/power sharing daripada berfokus pada kepentingan rakyat.
Karakter Kekuasaan
Upaya merawat demokrasi saat ini selalu terbentur dengan karakter kekuasaan yang cenderung arogan dan egois di mana pemain politik harus selalu diuntungkan, baik ketika kalah apalagi menang, dalam kontestasi pemilihan umum. Sehingga, alih-alih politik kartel ini muncul karena kegagalan partai oposisi menjadi opsi alternatif rakyat, nyatanya justru partai politik gagal dan tidak mampu menjadi oposisi. Terlepas dari dinamika pilpres yang sedang terjadi, nyatanya dari sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen 2019, hanya satu partai yang tidak dilibatkan di dalam Kabinet Indonesia Maju saat ini.
Menariknya, jumlah menteri profesional/non-partai politik sedikit lebih banyak daripada menteri dari kalangan partai politik. Apakah hal tersebut menegasikan adanya politik kartel dalam kabinet? Justru sebaliknya. Analisis dari Mietzner (2023) menunjukkan adanya power sharing game ala Presiden Jokowi untuk menahbiskan dirinya sebagai seorang strongman ruler/penguasa yang kuat. Presiden Jokowi mampu mematahkan argumentasi lama bahwa politik kartel mengharuskan elite politik tunduk pada sikap partai. Selain itu, faktor independensi aktor politik tersebut dalam konteks Indonesia menjadi tidak berlaku karena bukan hanya mereka tunduk pada kepentingan partai politik, tapi juga partai politik menundukkan dirinya dalam pola kartelisasi politik.
Kita bisa melihat dinamika ’’putusan 90 MK’’ serta konfigurasi dukungan partai politik yang cair dan cenderung tidak ideologis dalam kontestasi pilpres yang menunjukkan adanya politik kartel. Beberapa waktu terakhir, perdebatan hak angket dan gugatan PHPU ke MK seakan menjadi urusan personal daripada urusan solid partai politik pendukung pasangan capres-cawapres. Begitu juga sikap ’’kelegowoan’’ beberapa partai politik yang dinyatakan kalah seusai bertarung dalam kontestasi pilpres, yang menunjukkan keengganan elite untuk menjauh dari pusat kekuasaan.
Dampaknya tentu sangat signifikan. Terbaru, muncul wacana membuat pos menteri utama, di atas menteri koordinator. Alih-alih sebagai bentuk optimalisasi pelayanan publik, hal tersebut ditengarai sebagai upaya mewadahi semua kepentingan anggota koalisi yang banyak. Penambahan pos jabatan tersebut, jika tidak dikaji secara serius, juga berbahaya karena Indonesia akan bergeser dari sistem presidensial menjadi semi-presidensial, dengan adanya menteri utama yang mungkin akan sama dengan perdana menteri. Bahkan, riset terbaru Dan Slater (2024) mengklaim bahwa Prabowo, sebagai presiden terpilih, bisa jadi akan menjadi ’’bos’’ politik kartel selanjutnya.
Kuatkan Oposisi
Secara cerdik, Presiden Jokowi mampu mengonsolidasikan semua elemen dan tokoh penting bangsa Indonesia sehingga pada akhirnya dia menikmati approval rate tertinggi di dunia. Secara gamblang, Mietzner (2023) mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi tidak hanya berfokus pada koalisi formal dengan partai politik di parlemen, tapi juga menjalin koalisi informal dengan aktor lain, seperti pimpinan lembaga negara, pemerintahan daerah, desa, dan tokoh-tokoh masyarakat. Bentuk praktisnya bisa melalui power sharing atau pemberian keleluasaan legitimasi sehingga terjadi konsolidasi akbar dengan Presiden Jokowi sebagai pusat magnetnya. Maka tidak heran jika secara kalkulasi politik, partai politik akan mendapatkan keuntungan besar kalau berada di gerbong Presiden Jokowi.
Akibatnya, oposisi bukanlah pilihan terbaik bagi mayoritas partai politik. Oposisi menjadi sebuah konsekuensi politik daripada sekadar pilihan politik. Dan Slater (2024) dalam analisisnya mengungkapkan bahwa secara umum oposisi selalu dianggap sebagai ancaman. Hal itulah yang mengakibatkan jika ditarik sedikit ke belakang, kemunduran demokrasi di era Presiden Jokowi salah satunya disebabkan tindakan rezim untuk ’’menyingkirkan’’ ancaman tersebut. Padahal, saat ini kita tidak sedang berada di era otoriter.