Bahasa Luka: Bagaimana Berita Bencana Menguras Energi Psikologis Pembacanya?
Abethia Cahyarani Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung--
Oleh: Abethia Cahyarani
(Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung)
Berita mengenai banjir, longsor, hilangnya hutan, dan bencana alam lainnya akhir-akhir ini semakin mendominasi pemberitaan nasional. Tidak sedikit pembaca yang mengaku merasa letih secara emosional setelah mengikuti perkembangan bencana melalui media sosial.
Walaupun tidak berada di lokasi kejadian, respons tubuh dan pikiran sering kali terasa berat, cemas, dan menguras energi. Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui perspektif psikolinguistik, yang mengkaji hubungan antara bahasa dan proses mental manusia.
Menurut Roman Jakobson, salah satu tokoh utama strukturalisme linguistik, bahasa memiliki fungsi emotif dan konatif yang memengaruhi perasaan dan tindakan pembaca. Ketika berita menggunakan diksi berdaya emosional seperti “hancur”, “menangis histeris”, “tak berdaya”, atau “korban berjatuhan”, fungsi emotif bahasa bergerak aktif dan memicu resonansi afektif pembaca. Kata-kata tersebut menjadi simbol yang menyalakan respons psikologis, bukan hanya informasi objektif yang netral.
Sementara itu, Noam Chomsky, melalui pandangan generative grammar, menekankan bahwa otak manusia memiliki perangkat bawaan untuk memproses bahasa melalui struktur mental yang sistematis.
Ketika membaca atau mendengar narasi tragedi, struktur internal bahasa memicu proses pembentukan representasi mental (mental representation), yaitu gambaran internal yang dibangun otak terhadap peristiwa yang diceritakan. Proses inilah yang menyebabkan pembaca dapat “melihat”, “merasakan”, dan “membayangkan” tragedi, meski tidak berada di lokasi kejadian.
Proses biologis emosional ikut bekerja. Dalam psikolinguistik modern, seperti dijelaskan oleh ahli neurolinguistik Steven Pinker, bahasa dapat menstimulasi bagian otak yang berperan dalam regulasi emosi, terutama amigdala, pusat penerimaan sinyal ancaman.
Ketika membaca berita bencana secara intens, otak memproses informasi seolah-olah menghadapi ancaman langsung. Reaksi tubuh meningkat seperti detak jantung naik, napas menjadi pendek, dan hormon stres seperti kortisol dilepaskan. Proses ini dikenal sebagai respon kognitif-emosional terhadap rangsangan linguistik.
Dalam konteks pemrosesan informasi, berita bencana menuntut pembaca mengerahkan perhatian dan fokus lebih besar. Aktivitas pemrosesan semantik dan memori kerja meningkatkan beban kognitif (cognitive load).
Ketika paparan ini terjadi terus-menerus, pembaca dapat mengalami kelelahan kognitif, yaitu kondisi ketika kapasitas mental menurun karena energi otak terkuras untuk mengolah emosi dan informasi berat.
Gejalanya bisa berupa kelelahan mental, sensitivitas emosional, sulit berkonsentrasi, bahkan mati rasa emosional (emotional numbing).
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki kekuatan psikologis yang nyata. Bahasa dapat menyembuhkan, tetapi juga melukai secara mental. Bahasa dalam berita bencana bukan sekadar informasi yang memotret fakta di lapangan, melainkan rangsangan psikologis yang intens dan multidimensional.