BANDARLAMPUNG - Fakultas Sains Institut Teknologi Sumatera (Itera) mengadakan workshop evaluasi dan pengembangan kurikulum. Hal ini sebagai upaya peningkatan kualitas akademik.
Workshop yang dilaksanakan di aula gedung kuliah umum 2 Itera, Kamis (25/4), menghadirkan narasumber dosen Universitas Gunadarma, Prihandoko, M.I.T., Ph.D.
Dalam kegiatan yang mengusung tema Mendalami Proses Evaluasi dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi: Langkah-langkah Menuju Kualitas dan Relevansi yang Lebih Tinggi tersebut, Dekan Fakultas Sains Itera Dr. Ikah Ning Prasetyowati Permanasari, S.Si., M.Si. menyampaikan bahwa evaluasi kurikulum dilaksanakan karena tahun ini Itera memasuki satu dekade.
’’Selama ini kurikulum di Fakultas Sains Itera masih mengacu pada modul-modul dari ITB. Secara lengkap program studi di Fakultas Sains diinstruksikan untuk memperbaharui dan mengevaluasi kurikulum yang digunakan. Workshop ini salah satu upaya kami untuk mengevaluasi dan memperbaharui kurikulum secara lengkap serta menghasilkan capaian tujuan yang baik yang sesuai dengan visi dan misi,” ujar Ikah.
Sementara Prihandoko menyampaikan softskill mahasiswa harus dikuatkan serta dalam asesmen dapat menerapkan sistem Amerika dan memenuhi 5 instrumen yang harus dimiliki. Yakni kemampuan analisis (hardskill), kemampuan design (hardskill), kemampuan komunikasi (softskill), profesionalisme (softskill), teamwork, dan leadership (softskill). Dalam hal ini, Prihandoko menekankan softskill lebih penting dari hardskill dan perlu menyiapkan softskill yang lebih kuat.
’’Untuk menerapkan sistem pembelajaran OBE ini, kita harus punya pikiran besok mahasiswa saya harus bisa apa, bukan hanya mereka dapat materi,” ungkap Prihandoko.
Prihandoko juga menyampaikan mengenai sistem pembelajaran outcome based education (OBE) yang merupakan kurikulum yang mengacu pada outcome. Sehingga tidak materi saja yang harus diaplikasikan di dalam kelas, tetapi juga mempersiapkan bagaimana lulusan (outcome) yang telah dibekali kemampuan untuk menghadapi dunia kerja. Kampus juga harus mampu memproyeksikan lulusannya ke depan agar bisa bersaing secara internasional.
Prihandoko juga menyampaikan perbedaan sistem pembelajaran tradisional dan OBE. Sistem pembelajaran tradisional fokus pada apa yang diajarkan, sedangkan OBE fokus pada apa yang akan dimiliki oleh mahasiswa.
’’Untuk menerapkan sistem pembelajaran OBE ini, kita harus punya pikiran besok mahasiswa saya harus bisa apa, bukan hanya mereka dapat materi saja,” ujar Prihandoko.
Pada sistem OBE, kata Prihandoko, dosen perlu peduli kepada mahasiswa agar mereka paham dan kreatif. ’’Dosen perlu mengusahakan supaya mahasiswa bisa dan paham dengan menguji mereka. Bukan hanya memberikan materi, tetapi dengan cara memberikan kuis setiap perkuliahan dan tidak perlu berlama-lama memaparkan materi. OBE tujuannya mencerdaskan mahasiswa, bukan mencerdaskan dosen. Jadi perbanyak waktu untuk mahasiswa bekerja, bukan banyak waktu untuk dosen berceramah,” ungkapnya.
Prihandoko menyatakan bahwa di dunia pendidikan tenggat transfer pengetahuan ke otak manusia ketika banyak pendengaran hanya mendapatkan 10 persen serapan pengetahuan. ’’Jika sambil menulis, tingkat serapan pengetahuan ke otak lebih banyak melalui menulis sekitar 30 persen. Kuis dan menulis materi itu sangat penting. Selama ini sistem pendidikan tradisional hanya berorientasi ketika materi disampaikan dan OBE menerapkan sistem mahasiswa harus bisa. Fokus OBE adalah apa yang akan mahasiswa capai di akhir perkuliahan dan fokusnya pada konsumen industri. Mahasiswa adalah input, bukan output. Konsumen mahasiswa adalah industry,’’ tegasnya. (rls/c1)