Ruang Kesempatan

Jumat 15 Mar 2024 - 15:10 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

Senyum terlukis di wajahku ketika mendapati ibu tampak sibuk dengan beberapa anak kecil. Kerutan di wajahnya, juga beberapa helai rambutnya yang sudah memutih tak sedikit pun menurunkan kecantikannya. Di waktu yang hampir petang, air mukanya masih memancarkan semangat luar biasa. Sesekali ia memuji seorang anak kecil yang berhasil memahami huruf-huruf vokal yang diajarkannya. 

Kugenggam erat sebuah kotak merah berukuran kecil. Akhirnya aku mampu memberinya benda berharga ini. Perlahan, anganku terbang pada beberapa tahun yang lalu, tahun-tahun penuh perjuangan yang membentukku hingga pantas berada pada titik ini.

Pagi itu, aku tersenyum ketika menatap mentari yang mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu. Semburat cahaya perlahan merambat ke gorden kamar, menghantarkan rasa hangat yang menyerbu wajahku.

BACA JUGA:CINTA DI HARI NYEPI

Aku menatap kertas-kertas yang berserakan di kamar.Terbesit pertanyaan di benakku, apakah benar hasil tidak akan mengkhianati usaha? Lalu, bagaimana dengan mereka yang memiliki kesempatan lebih besar dalam berusaha? Bukankah mereka akan berada pada satu dua tangga lebih tinggi dari mereka yang memiliki kesempatan lebih sedikit?

Ibu memasukkan dua bungkus nasi ke dalam tasnya. Seperti biasanya ia selalu memberikan satu atau dua bungkus nasi untuk orang-orang di jalan ketika mengantarku sekolah. Meskipun pekerjaan ibu hanya penjahit dan penjual es buah dengan penghasilan tidak pasti, ibu selalu berbagi walaupun sedikit. Kata ibu, anak-anaknya kelak haruslah menjadi sukses agar bisa banyak berbagi.

Sesampainya di sekolah, aku dan Micha bergegas menuju gedung serba guna untuk melakukan tes mendaftar menjadi perwakilan sekolah. Jika terpilih, kami akan bersaing dengan murid-murid dari sekolah lain untuk memperebutkan beasiswa kuliah di luar negeri. Aku dan Micha ternyata terpilih menjadi perwakilan sekolah. Satu murid lagi yang terpilih ialah Ranya.

BACA JUGA:Omed-Omedan Tradisi Masyarakat Hindu di Bali, Ini Sejarahnya!

“Untuk persaingan dengan perwakilan sekolah-sekolah lain, tesnya akan dilakukan sekitar dua bulan lagi. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya. Akan ada evaluasi mingguan setiap minggunya. Tes yang diujikan yaitu tes wawancara, tes menulis essay, dan tes potensi akademik.” Bu Kania menjelaskan.

Kami bertiga mengangguk-angguk.

Sepulang sekolah, seperti biasa aku membantu ibu berjualan es buah di pinggir jalan. Ibu senang ketika kuceritakan bahwa aku berhasil menjadi perwakilan sekolah.

Hari demi hari berlalu, hingga hari evaluasi mingguan setelah kami kembali melakukan latihan tiba.

Bu Kania menghela nafasnya panjang, “Shira, ada apa dengan kamu seminggu ini? Hanya tulisan essay-mu yang bagus. Nilai latihan soal, juga nilai simulasi wawancaramu rendah. Jauh lebih rendah malah diantara Micha dan Ranya. Kamu yakin kamu belajar selama seminggu ini? Kalau memang kamu benar-benar ingin mendapatkan beasiswa ini kamu seharusnya belajar lebih giat. “Banyak murid di sekolah ini yang ingin jadi perwakilan sekolah, tapi sekolah kasih kesempatan ini ke kamu. Jangan disia-siakan dong. Untuk Ranya dan Micha, pertahankan dan terus tingkatkan kemampuan kalian. Sekian dari saya, kalian boleh pulang.”

Aku berjalan gontai ke luar ruangan diikuti oleh Ranya dan Micha.

Dalam seminggu ini, setiap malam aku selalu belajar. Bahkan, aku selalu menolak teman-temanku yang mengajakku bermain. Mereka saja masih bermain dengan teman-teman, tetapi mengapa nilainya lebih besar dariku?

Tags :
Kategori :

Terkait