Ruang Kesempatan

Jumat 15 Mar 2024 - 15:10 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

Kuikuti arah pandang kakek itu yang kini menatap sesosok anak kecil berpakaian kumal yang mengobrak-abrik kotak sampah. Lantas ketika ia menemukan sisa makanan, ia dengan lahap memakannya.

  “Bahkan untuk makan saja ada yang kesempatannya sangat kecil,” ujar Kakek tersebut.

 “Pulanglah nak, berlarilah lebih keras kalau kau tahu kau tidak memiliki kesempatan sebesar teman-temanmu.”

Kakek tersebut menghampiri anak kecil yang dipandanginya, memberinya beberapa lembar uang kemudian melangkah pergi.

Kutatap pakaianku yang masih terbilang layak. Kutatap gawai yang sedari tadi kugenggam. Aku bahkan tidak merasa lapar. Rasa syukur terbesit di benakku. Aku terasa seperti terlahir kembali. Memiliki semangat baru yang menggebu. Sejak saat itu, setiap harinya aku memilih untuk belajar ketika menunggu pembeli es buah. Bolak-balik ke perpustakaan untuk meminjam buku yang tak bisa kubeli, sesekali meminjam buku-buku Ranya dan Micha. Perlahan aku mulai berhenti membandingkan hidupku dengan orang lain, berhenti meratapi apa yang tak kumiliki. 

Pengumuman perimaan beasiswa telah diumumkan. Ibu menangis terharu ketika mengetahui bahwa aku diterima. Ibu menghampiriku ketika sedang mengemas barang-barang. Ia menyondorkan sebuah laptop yang membuat mataku terbelalak.

“Beli laptop ini uang dari mana, Bu? SPP adik, cicilan rumah sudah dibayar memangnya?” tanyaku bertubi-tubi.

Ibu mengangguk, “Kalau nanti kamu sudah sukses, jangan pernah lupa dengan orang-orang yang tak seberuntung kamu, Shira.”

  Aku menatap wajah Ibu yang menatapku teduh. Kugenggam erat tangannya. Saat itu aku menyadari, cincin emas mas kawin pernikahan ibu dan mendiang ayah tak lagi berada di jari manisnya.

Anganku membuyar ketika Ibu menyadari kehadiranku. Ia memilih untuk membubarkan kelas saat itu juga kemudian menghampiriku.

Aku dan ibu menyeduh kopi bersama. Seraya menyeruput kopi, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tempat belajar membaca, menulis, dan berhitung di Ruang Kesempatan. Aku teringat lomba-lomba menulis essay yang kuikuti, yang tak berbuah kemenangan sama sekali. Namun aku juga ingat poin menulis essay-ku pada tes beasiswa merupakan poin tertinggi. Aku ingat bagaimana teriknya sinar matahari saat belajar sembari menunggu pembeli es buah datang. Juga teringat pada rasa lelahku bolak-balik perpustakaan karena tak punya uang untuk membeli buku. Aku juga tak melupakan waktu-waktu istirahat sekolahku yang kupakai untuk belajar.

Mungkin aku bukan seseorang yang memiliki kesempatan besar. Tapi karena semua itu, aku pandai membagi waktu. Aku bekerja paruh waktu saat berkuliah. Aku bisa menghargai uang dengan menabung sebagian uang saku beasiswa yang diberikan untuk modal usaha. Dari modal tersebut, aku membangun sebuah perusahaan pakaian merek lokal bernama Shie. Aku membuka lapangan pekerjaan untuk ibu-ibu sekitar rumahku yang memiliki keterbatasan ekonomi. Dengan begitu, mereka berkesempatan memberdayakan diri untuk membawa perubahan ekonomi bagi keluarga mereka.

“Membeli berarti menciptakan kesempatan untuk mereka yang kurang mampu” merupakan sebuah slogan yang kupakai setiap kali melakukan promosi penjualan. Pembelian produk Shie mengajak untuk bersama-sama menciptakan kesempatan untuk anak-anak yang kurang mampu. Karena setiap pembelian satu produk Shie, pembeli sudah berdonasi dua ribu rupiah untuk pembangunan serta pengembangan Ruang Kesempatan. 

Ruang Kesempatan merupakan bangunan dua lantai dengan rak-rak buku yang berjejer di dalamnya, beberapa komputer untuk menunjang fasilitas belajar, juga tempat untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung gratis untuk anak-anak yang kurang mampu.

Aku menyondorkan kotak merah yang kugenggam kepada ibu. Usai membukanya, buliran air mata menetes di pipinya, menciptakan rasa hangat di hatiku.

“Maaf, bentuknya tidak sama persis dengan cincin mas kawin pernikahan ibu dan mendiang ayah. Tapi mirip kan, Bu?” Aku mengembangkan senyum.

Tags :
Kategori :

Terkait