“Aku mau tau dong, gimana cara belajar kalian,” ujarku.
Aku tertegun menatap catatan kecil berisi bagaimana cara Micha dan Ranya belajar selama seminggu terakhir. Hati kecilku menaruh iri pada mereka.
Sepulang sekolah Micha dan Ranya memilih bermain dengan teman-teman sebentar. Sorenya Micha membaca buku-buku yang dibelinya dan Ranya ikut les . Di malam hari, mereka mengerjakan latihan soal dan latihan menulis essay.
Siang hingga sore hariku dipakai untuk membantu ibu berjualan es buah. Lalu di malam hari, aku baru sempat belajar. Aku mengeluh dalam hati, menutup wajah dengan kedua tangan, perasaan sesak tiba-tiba menggebu. Rasa percaya diri terhadap kemampuanku mendadak surut. Aku merasa tidak memiliki kesempatan sebesar teman-temanku. Aku merasa bahwa mereka yang memiliki cukup uang pasti akan lebih mudah mencapai tujuannya karena mereka bisa membeli buku-buku, bisa les, juga mempunyai waktu yang lebih banyak dariku untuk belajar. Lantas, bukankah semua yang aku lakukan selama ini percuma? Mereka yang memiliki kesempatan lebih besar akan menjadi pemenangnya.
“Kak, bisa bantu ibu cuci piring?” Ibu tiba-tiba datang.
Aku menatap ibu tajam. Amarah memenuhi rongga dadaku, “Ibu tahu kenapa dulu aku selalu kalah dalam lomba menulis essay? Karena aku tidak punya waktu untuk belajar menulis essay dengan baik, Bu. Aku juga tidak punya uang untuk ikut pelatihan. Aku mau belajar seperti teman-temanku yang lain, Bu, yang punya banyak waktu untuk belajar. Sementara aku, dari siang sampai sore harus bantu ibu jualan es buah.”
“Maafin Ibu ya, Kak,” lirih Ibu.
Aku berjalan tanpa arah. Entah sudah berapa langkah kutempuh. Sampai ketika lututku terasa sakit. Aku memilih untuk berhenti. Cahaya bulan yang bersinar terang menjadi temanku malam ini, menemaniku duduk di sebuah kursi yang menghadap jalan raya, menikmati sepoi angin yang menghadirkan sepi.
Seorang kakek tua dengan celana olahraga dan kaus oblong tiba-tiba duduk di sampingku,“Sedang apa malam-malam duduk disini?” tanyanya. Tanpa sadar air mata terbendung di kelopak mataku.
“Aku sedang tidak percaya diri,” ujarku. “Aku juga merasa kalah.”
“Kenapa merasa begitu?”
“Aku merasa aku tidak memiliki kesempatan sebaik teman-temanku,” ujarku.
Aku mulai menceritakan semua yang kurasakan.
“Nak, sudah tidak zaman lagi anak-anak sekolah hanya belajar pelajaran sekolah. Belajarlah tentang hidup. Belajarlah cara bertahan hidup bersamaan dengan belajar untuk mempertahankan nilai dan prestasi di sekolah.”
Aku melongo kebingungan.
“Saat sedang menunggu pembeli datang, bukalah buku. Kau memiliki kesempatan sebenarnya, tapi karena kesempatan tersebut berbeda dengan teman-temanmu, kau menjadikannya alasan. Ah, tidak ada waktu untuk belajar, selalu sibuk membantu ibu. Hei, bukankah ketika menunggu pembeli kau hanya melamun melihat kendaraan yang berlalu- lalang? Kau benar Nak, orang-orang yang memiliki uang akan lebih mudah mencapai tujuannya karena mereka bisa membeli hal-hal yang mendukung mereka dalam mencapai tujuan. Tapi, apa terus menyalahkan keadaanmu yang sulit membuat segala sesuatu menjadi mudah dicapai? Kesempatan itu selalu ada dan dapat ditemukan apabila memiliki kemauan yang kuat. Jika tidak, kau tidak akan menyadari kehadirannya.” Kakek itu melanjutkan.