Menghadang Korupsi dari Hulu

ILUSTRASI Menghadang Korupsi dari Hulu-FOTO MAULANA PAMUJI GUSTI/HARIAN DISWAY-
Oleh: Ulul Albab*
PUBLIK kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan seorang wakil menteri aktif di kabinet. Kasus terbaru tersebut –dan sangat mungkin ada yang lebih terbaru lagi– seakan menegaskan bahwa Indonesia masih terjebak dalam lingkaran setan korupsi: dari yang kecil hingga yang besar, dari level lokal hingga pusat.
Korupsi bisa dimaknai dari A sampai Z –dari abuse of power hingga zero accountability. Ia hadir dalam bentuk suap, gratifikasi, nepotisme, jual beli jabatan, pemerasan, hingga manipulasi anggaran.
Seperti yang dijelaskan Johnston (2005) dalam Syndromes of Corruption, bentuk korupsi di negara berkembang kerap berada dalam spektrum ”elite kartel” dan ”oligarki resmi”. Dalam kerangka itu, kekuasaan dijadikan instrumen untuk memperkaya kelompok, bukan untuk melayani publik.
BACA JUGA:Meneguhkan Persatuan, Menolak Perpecahan
Fenomena OTT wakil menteri hanyalah satu simpul kecil dari jaringan lebih besar yang disebut state capture.
Menurut Hellman, Jones, & Kaufmann (2000) dalam artikel berpengaruh di World Bank Policy Research Working Paper, state capture terjadi ketika para aktor politik maupun ekonomi secara sistematis memengaruhi kebijakan publik, hukum, dan regulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Korupsi jenis itulah yang membuat demokrasi kehilangan substansinya: negara dikuasai segelintir orang, sedangkan kepentingan rakyat terpinggirkan.
BELAJAR DARI EFEKTIVITAS ICAC HONGKONG
Sebetulnya, Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan itu. Banyak negara yang pernah berada di titik suram yang sama, bahkan lebih parah. Hongkong, misalnya, pada dekade 1960–1970-an dikenal sebagai salah satu wilayah paling korup di Asia.
Polisi, birokrat, hingga politisi kala itu terjerat dalam jejaring suap yang seolah mustahil diberantas.
Pemerintah kolonial Inggris kemudian mendirikan Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 1974. Lembaga itu lahir dengan mandat luar biasa: independen dari pengaruh politik, memiliki kewenangan investigasi luas, serta menempatkan pendidikan antikorupsi sebagai pilar utama.
Studi Quah (2010) dalam Asian Journal of Political Science menunjukkan bahwa efektivitas ICAC memang luar biasa, mulai kekuatan represif hingga strategi pencegahan dan pendidikan dilakukan.
ICAC menindak tegas koruptor tanpa pandang bulu, membangun sistem administrasi yang transparan, dan menanamkan budaya integritas sejak usia dini. Hasilnya, dalam dua dekade, Hongkong bertransformasi dari ”markas besar suap” menjadi salah satu yurisdiksi dengan tata kelola paling bersih di Asia.