Menghadang Korupsi dari Hulu

ILUSTRASI Menghadang Korupsi dari Hulu-FOTO MAULANA PAMUJI GUSTI/HARIAN DISWAY-

Pelajaran penting dari Hongkong adalah pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan setengah hati. Dibutuhkan kombinasi political will yang kuat, kelembagaan independen, serta budaya publik yang menolak kompromi pada perilaku koruptif.

REFLEKSI UNTUK INDONESIA

Indonesia kerap terjebak dalam pendekatan hilir: menunggu kasus meledak, baru kemudian aparat bertindak. Padahal, yang mendesak adalah kerja pada level hulu. Yaitu, memperbaiki sistem rekrutmen politik, mengurangi biaya demokrasi yang mahal, serta menutup celah regulasi yang rawan diperjualbelikan.

Studi Mungiu-Pippidi (2013) dalam Governance Journal menekankan bahwa pemberantasan korupsi efektif bila negara mampu mengubah ”ekuilibrium sosial”, dari masyarakat permisif terhadap korupsi menjadi masyarakat yang menolak dan menghukum perilaku tersebut. 

Artinya, perang melawan korupsi harus melibatkan transformasi budaya, tidak hanya fokus pada penegakan hukum.

STRATEGI KE DEPAN

Jika kita memang serius memberantas korupsi, baik korupsi birokrasi maupun korupsi politik, sebenarnya ada beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan. 

Pertama, untuk mencegah korupsi politik, kita lakukan reformasi politik dan pembiayaan pemilu. Transparansi dana kampanye dan regulasi pembiayaan politik mutlak dilakukan. Tanpa itu, pejabat akan terus mencari jalan pintas menutup ongkos politik melalui praktik korupsi. 

Kedua, kita lakukan penguatan KPK dan menyinergikan aparat penegak hukum. Caranya? Independensi KPK harus dipulihkan. Sebagaimana pelajaran dari ICAC Hongkong sudah jelas dan dapat dicontoh. Yaitu, lembaga antikorupsi tidak boleh berada di bawah bayang-bayang politik. 

Ketiga, kita lakukan digitalisasi layanan publik. Sebab, korupsi akan subur dalam birokrasi manual. Sebagaimana yang terjadi di kasus OTT wamenaker dan kasus lainnya yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi manual. Penerapan e-government dan skema big data dapat mempersempit ruang manipulasi, pemerasan, suap, dan sejenisnya. 

Keempat; kita budayakan antikorupsi sejak dini. Artinya, kita lakukan pendidikan integritas, pendidikan antikorupsi, yang serius dan masuk kurikulum sekolah, kampus, serta ruang publik. 

Kelima, tingkatkan peran masyarakat sipil dan media. Kontrol publik adalah benteng terakhir. Jurnalisme investigasi, whistle-blower, dan gerakan masyarakat sipil perlu didukung dengan perlindungan hukum yang memadai.

 

OTT wakil menteri ketenagakerjaan yang mencoreng wajah pemerintahan hari ini seharusnya tidak berhenti pada drama penangkapan. Harus menjadi wake up call untuk berbenah secara struktural. 

Korupsi di Indonesia sudah terlalu lama menjadi penyakit kronis. Dari A sampai Z, praktik busuk itu merusak demokrasi, membunuh keadilan, dan menjerat masa depan bangsa.

Tag
Share