Omed-Omedan Tradisi Masyarakat Hindu di Bali, Ini Sejarahnya!
TRADISI SERU: Omed-omedan ada di Kelurahan Sesetan, Denpasar. --FOTO AGUNG BAYU/BALI EXPRESS
BALI - Omed-omedan adalah salah satu tradisi masyarakat Hindu di Bali yang dilaksanakan satu hari setelah hari raya Nyepi, Ngembak Geni. Di mana, masyarakat Bali sudah dapat beraktivitas kembali seperti biasa. Dalam bahasa Indonesia, istilah omed-omedan berarti saling tarik menarik.
Dikutip dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id, acara ini dimulai dengan persembahyangan di Pura. Kemudian muda-mudi lajang dibagi menjadi pria dan wanita diarak serta dihadapkan untuk saling tarik-menarik, berpelukan (gelut), cium kening, pipi ataupun bibir (diman), dan disirami air (siam).
Tradisi ini diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke-17 yang berawal dari masyarakat Kerajaan Puri Oka, Denpasar Selatan. Pada saat itu, masyarakat membuat permainan tarik-menarik yang berubah menjadi saling rangkul. Tradisi ini semakin seru hingga saling cium dan siraman air dimulai. Saat ini hanya masyarakat desa adat Sesetan yang masih menjalankan tradisi omed-omedan. Muda-mudi berusia 17-30 tahun lajang yang berpartisipasi dalam acara ini menyanyikan lagu omed-omedan secara serentak diiringi oleh lenting gamelan.
Tradisi omed-omedan sempat dihentikan karena tidak sesuai dengan adat timur, di mana ciuman di depan umum dianggap tabu. Namun, setelah dihentikan terjadi pertengkaran babi di tempat biasanya diadakan omed-omedan yang dipercaya merupakan pertanda buruk. Tradisi ini kembali dilaksanakan. Selain sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya leluhur, pemeliharaan, dan pelestarian budaya, tradisi ini juga dipercaya dapat mempererat tali kasih antar-warga sehingga terbentuk ikatan yang saling mendidik, saling mencintai, dan saling membina. Keseruan tradisi ini juga mengundang perhatian wisatawan asing maupun lokal.
Sejarah Omed-Omedan
Dikutip dari Wikepedia, menurut legenda setelah hari Nyepi ada permainan med-medan dari masyarakat Kerajaan Puri Oka (sekarang berada di Denpasar Selatan). Dalam permainan tersebut, pemuda dan pemudi saling tarik-menarik. Seiring waktu berubah menjadi saling merangkul. Pada suatu hari, Ida Bhatara Kompiang, penglingsir kerajaan yang waktu itu sakit, terganggu oleh suara gaduh dari med-medan dan mencoba menghentikan upacaranya. Namun setelah keluar, rajanya sembuh. Kemudian dia memerintahkan bahwa med-medan diadakan setiap Ngembak Geni (menyalakan api pertama) setelah Nyepi.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda mencoba melarang med-medan, tapi masyarakat mengabaikan larangan tersebut. Pada 1984, ada perintah pemberhentian upacara karena ada keluhan mengenai orang muda yang berciuman selama pelaksanaannya. Tetapi, masyarakat tetap menyaksikan upacara tersebut. Tiba-tiba ada perkelahian antara dua babi yang berkelamin laki-laki dan perempuan berlangsung selama sejam. I Gusti Ngruha Oka Putra, seorang tokoh pura, mendapat laporan perkelahian dari seseorang warga. Saat tiba di sana, perkelahiannya berhenti. Karena warga menganggap itu tanda buruk, diputuskan dalam musyawarah bahwa upacara med-medan dibolehkan.
Pada 1990-an, penyelenggara upacara berganti dari banjar adat ke sekaa teruna. Pada tahun 2000-an, nama upacaranya berubah menjadi omed-omedan. Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (Festival Warisan Sesetan Omed-omedan, SHOF/SHOOF) telah diadakan sejak 2009.
Dalam pelaksanaannya, omed-omedan melibatkan sekaa teruna teruni (STT) atau pemuda-pemudi belum menikah berumur 17–30 tahun. Peserta upacara ini terdiri atas 40 pria dan 60 wanita. Sisa peserta akan dicadangkan untuk tahap berikutnya.
Prosesi omed-omedan dimulai dengan uraian singkat dari prajuru banjar, yaitu pengurus banjar yang terdiri atas kelihan banjar (yang bertugas memberi petunjuk kepada peserta upacara), kelihan dinas, dan ketua STT. Setelah penyampaian uraian singkat, diadakan persembahyangan bersama untuk memohon keselamatan. Pertama, pemimpin persembahyangan bersama (jero pemangku pura) menyembahkan sesajen bernama banten pejati. Kemudian peserta berdoa panca sembah. Setelah itu, pemimpin memercikkan tirta amerta (air kehidupan) sebagai simbol anugerah Sang Hyang Widhi kepada umatnya serta memberikan beberapa butir bija (beras yang dibasahkan di pura) kepada-Nya. Setelah persembahyangan bersama diadakan pertunjukan Tari Barong Bangkung (Barong Babi) untuk mengingat perkelahian kedua babi di Desa Sesetan.
Dalam upacara, peserta dibagi menjadi kelompok laki-laki (teruna) dan perempuan (teruni). Kedua kelompok tersebut akan saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh memberikan aba-aba, mereka saling berhadapan dan tarik menarik menggunakan tangan kosong. Mereka juga berpelukan dan berciuman satu sama lain. Setelah beberapa waktu, pecalang akan menyiram air kepadanya sebagai pertanda berhenti. Ketika pemimpin kelompok melewati garis tertentu, fase berakhir dan dinyatakan kelompok tersebut kalah serta harus menyerahkan pemimpinnya kepada kelompok yang menang yang menjadi pacundang. Tempat kelompok ditukar setiap 2 fase.
Setelah upacara selesai, kelihan banjar mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan membubarkan warga masyarakat. Prajurit banjar juga meminta maaf jika ada yang salah selama upacara omed-omedan. Kemudian seluruh warga dan pejabat yang hadir makan bersama di Banjar Kaja, Desa Pakraman Sesetan. Sambil makan, kelihan banjar dan bendesa menyampaikan hal yang bisa diperbaiki dan usulan untuk upacara omed-omedan tahun depan.
Pada Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (SHOOF) 2024, rencananya digelar pada momentum Hari Ngembak Geni, Selasa (12/12). Sejumlah acara akan digelar pada kesempatan itu, yakni kegiatan kesenian, pameran dokumenter, hingga nantinya akan dipuncaki dengan tradisi omed-omedan. Hal ini disampaikan saat pihak panitia SHOOF 2024 bertemu dalam sesi audiensi dengan Wakil Wali Kota Denpasar I Kadek Agus Arya Wibawa di Gedung DNA Lumintang, Selasa (5/3).