Sebagai perbandingan, sekitar US$4 triliun per tahun perlu diinvestasikan dalam energi terbarukan hingga 2030, termasuk investasi dalam teknologi dan infrastruktur untuk memungkinkan pencapaian emisi nol persen pada 2050.
“Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus menjamin keberadaan strategi yang menunjang peluang investasi dalam EBT. Pemerintah harus menjalankan lima strategi," kata Deni.
Apa saja kelima strategi itu? Pertama, kata Deni, pengaturan pasar di mana kebijakan harus menetapkan transparansi dan prediktabilitas, yang memberikan kepercayaan bagi investor dalam kemampuan untuk memulihkan investasi dalam pembangkit listrik.
Kedua, lanjutnya, memberikan insentif bagi energi bersih dan iklim tertentu yang menyusun strategi energi multi-tahun terintegrasi dengan target jangka pendek dapat menjadi langkah strategis.
“Ketiga, menjamin langkah-langkah ramah bisnis umum yang berupa beberapa kebijakan umum (yaitu, tidak harus spesifik untuk energi) yang dapat memfasilitasi investasi energi terbarukan," ungkapnya.
Keempat, mekanisme pembiayaan yang inovatif dimana mekanisme pembiayaan dari berbagai jenis dapat berguna dalam mengurangi risiko, menawarkan potensi pengembalian tambahan, atau menciptakan lebih banyak peluang investasi.
“Terakhir, asumsi risiko awal dimana beberapa proyek yang sukses termasuk sponsor awal yang bersedia menanggung berbagai risiko," pungkasnya.
Menurut Deni, besarnya potensi EBT yang dimiliki Indonesia menjadi 'barang seksi' bagi investor. Mulai dari sinar matahari, angin, air, biomassa, dan panas bumi.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT Indonesia mencapai 442,4 GW.
Hanya saja yang baru dimanfaatkan sekitar 11,3 GW atau hanya 2,5 persen dari total potensi yang ada.
Peluang investasi EBT di Indonesia sangat menarik bagi para investor baik dalam negeri, maupun luar negeri.
Sebab, Indonesia memiliki empat keunggulan komparatif. Pertama, kebijakan pemerintah sangat pro pengembangan EBT, seperti target bauran energi nasional 23 persen EBT pada 2025, insentif fiskal dan nonfiskal bagi investor EBT,serta penyederhanaan perizinan dan regulasi.
Kedua, ketersediaan sumber daya EBT yang melimpah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, seperti sinar matahari mencapai 4,8 kWh/m2/hari, angin dengan kecepatan rata-rata 3-6 m/s, air dengan potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 75 GW.
Kemudian biomassa dengan potensi produksi bioenergi sebesar 32.654 PJ/tahun, dan panas bumi dengan cadangan terbesar di dunia sebesar 28.910 MW.
Ketiga, permintaan energi yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi Indonesia serta kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan energi yang ramah lingkungan.(jpnn/abd)