KPU Batalkan Keputusan Nomor 731/2025 Usai Dapat Kritik Publik

Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow -FOTO IST -
JAKARTA – Protes publik terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731/2025 akhirnya membuat lembaga penyelenggara pemilu itu mengubah sikap. KPU resmi membatalkan keputusan tersebut setelah menuai kontroversi karena diterbitkan jauh setelah pemilu.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menjelaskan lembaganya memutuskan mencabut Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan.
“KPU telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait keputusan pengecualian informasi publik, salah satunya Komisi Informasi Pusat (KIP),” kata Afifuddin, Selasa (16/9).
Ia mengungkapkan, keputusan tersebut awalnya dibuat untuk menyesuaikan aturan dengan Peraturan KPU, Undang-Undang Pemilu, dan peraturan lain yang relevan.
“KPU juga harus memedomani Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi,” ujarnya.
Afifuddin menambahkan, pembatalan keputusan itu juga merupakan bentuk apresiasi terhadap partisipasi publik yang banyak disampaikan melalui media sosial.
“KPU dalam dinamika beberapa hari terakhir mengapresiasi masukan, kritik, dan partisipasi publik dalam memastikan pelaksanaan pemilu yang berintegritas, akuntabel, dan terbuka,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menilai keputusan KPU tersebut membingungkan karena diterbitkan setelah pemilu selesai.
“Jelas ini melanggar banyak prinsip pemilu,” ujarnya.
Menurut Jeirry, ada beberapa kemungkinan alasan KPU sempat menerbitkan aturan itu, di antaranya untuk melindungi reputasi atau menghindari risiko hukum terkait dokumen pendaftaran calon.
“Ada indikasi bahwa beberapa dokumen mengandung informasi rentan dipersoalkan, misalnya ijazah, laporan harta kekayaan, atau status pajak calon tertentu,” paparnya.
Ia menduga aturan tersebut dibuat untuk membatasi sengketa pasca-pemilu. “Dengan menutup akses dokumen itu, KPU bisa jadi berusaha menghindari pembongkaran kesalahan administratif yang berpotensi mendelegitimasi hasil pemilu,” tambahnya.
Jeirry juga menilai tidak tertutup kemungkinan KPU berada di bawah tekanan elite politik tertentu yang berkepentingan menutup akses terhadap dokumen persyaratan calon.
“Hal ini mengingat periode pasca-pemilu rawan gugatan atau investigasi. Publik bisa saja mencurigai keputusan ini berkaitan dengan kasus ijazah Wakil Presiden terpilih yang belakangan ramai dipersoalkan,” pungkasnya.
Sebelumnya Setelah banjir kritik dari masyarakat hingga elite politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya membatalkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang sebelumnya menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi tertutup.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menegaskan langkah ini bukan untuk melindungi pihak tertentu, melainkan bentuk koreksi internal.
’’KPU berkomitmen untuk senantiasa terbuka dan inklusif dalam tata kelola informasi. Publik tetap berhak memperoleh informasi dari KPU,” kata Afifuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/9).
Kebijakan KPU sebelumnya memicu gelombang protes. Publik menilai keputusan itu justru merusak semangat keterbukaan pemilu. Bahkan Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, ikut angkat suara.
“Rakyat mau melamar kerja saja pakai curriculum vitae. Apalagi mau melamar menjadi pemimpin. Dokumen seperti ijazah itu hak publik untuk tahu,” tegas Dede di Senayan, Senin (15/9/2025).
Menurut Dede, akses ke dokumen persyaratan, termasuk ijazah, sangat penting untuk menguji kredibilitas dan rekam jejak calon pemimpin negara.
Menanggapi kritik keras itu, KPU melakukan rapat internal dan koordinasi dengan Komisi Informasi Publik.
Hasilnya, keputusan ditarik balik dan konsekuensinya bakal membuka akses publik atas dokumen syarat Capres-cawapres.
Afifuddin menegaskan, keterbukaan informasi tetap menjadi pijakan utama KPU sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Selanjutnya kami akan memedomani aturan yang ada, dan terus berkoordinasi dalam pengelolaan data, tidak hanya untuk Pilpres, tapi juga data lain yang bisa diakses sesuai peraturan,” ujarnya.
Kenapa ini Penting? Sebab, Transparansi dokumen (ijazah, CV, dll) jadi syarat kepercayaan publik, UU KIP 2008 menjamin hak masyarakat untuk tahu informasi dari badan publik dan Pemilu 2024 lalu juga sempat diwarnai isu ijazah palsu, sehingga keterbukaan makin krusial. (jpc/c1/abd)