Namun, jika pasar tenaga kerja AS melemah secara tak terduga atau inflasi menurun lebih cepat daripada yang diharapkan, The Fed masih akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneternya.
Persoalannya, jika asumsi perekonomian AS berkembang seperti yang diantisipasi anggota Federal Open Market Committee (FOMC) yang memperkirakan suku bunga The Fed bakal turun menjadi 4,5 persen pada akhir 2024 dan 3,5 persen pada akhir 2025.
Hal itu berarti menguatkan kesan bahwa The Fed melakukan kebijakan antisipasi penurunan suku bunga sebesar 100 bps pada akhir tahun ini, mengimplikasikan dua kali lagi penurunan sebesar 25 bps.
Sementara pada 2025, pasar global meyakini bahwa The Fed bakal kembali menurunkan suku bunga sebesar 100 bps. Kemudian, pada 2026 dan 2027, suku bunga The Fed akan turun menjadi 3 persen yang menandakan penurunan 50 bps terakhir dan berakhirnya siklus penurunan suku bunga pada 2026.
Proyeksi itu diperkirakan lebih rendah jika dibandingkan dengan proyeksi pada Juni 2024 yang mencerminkan ekspektasi inflasi yang lebih rendah, tingkat pengangguran yang lebih tinggi, dan pergeseran keseimbangan risiko.
Namun, munculnya proyeksi positif itu tidaklah mewakili rencana atau keputusan formal dari The Fed melainkan hanya berasal dari keyakinan para investor akan perekonomian AS yang menunjukkan tren menjanjikan dan berdampak signifikan pada bergeraknya parameter-parameter ekonomi global yang kian dinamis.
PRIORITAS KEBIJAKAN YANG BERSIFAT STIMULAN
Mengakomodasi sejumlah faktor eksternal di atas yang bersifat menguntungkan, kabinet Prabowo-Gibran seyogianya memperkuat kebijakan yang diharapkan mampu menstimulasi potensi pertumbuhan ekonomi yang memiliki efek pengganda
Pertama, pemerintah perlu terus memacu peningkatan investasi demi tercapainya pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang merupakan salah satu kontributor terbesar setelah konsumsi rumah tangga, agar dapat tumbuh tinggi. Dengan demikian, dapat mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan kompetitif di tengah persaingan investasi di negara-negara lain yang juga prospektif di mata investor global.
Kedua, memperluas ruang fiskal Indonesia yang masih terbatas, sangat urgen bagi pemerintah mengoptimalisasi pos-pos belanja pemerintah yang memiliki efek pengganda besar pada sektor makro, seperti pemberian insentif pajak ekspor pada sektor komoditas primadona nonmigas.
Ketiga, mempertahankan tingkat inflasi di level 1,5–3,5 persen agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Adanya stimulus bansos dan BLT yang masih berjalan relatif membantu sektor konsumsi untuk jangka pendek. Tingginya tingkat konsumsi sangat signifikan bagi pertumbuhan PDB.
Keempat, mendorong akselerasi reformasi struktural demi peningkatan sektor-sektor ekonomi yang memiliki kontribusi besar pada perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, perdagangan, dan konstruksi sehingga peningkatan kualitas indikator sosial ekonomi Indonesia juga ikut terkerek.
Terlebih, di tengah merosotnya kelompok kelas menengah pada fase yang cukup mencemaskan, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas bisa mendongkrak kembali golongan itu yang selama ini memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara populasi, kelas menengah berjumlah 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk. Mereka memiliki kualifikasi sumber daya manusia (SDM) yang terampil. Sekitar 56 persen alokasi pengeluaran kelompok itu dipakai untuk pendidikan dan kesehatan serta memiliki aset yang cukup untuk berwirausaha.
Sebagaimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen.
Hasil survei juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Terjadi tren penurunan sejak itu. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.