FDR Jadi Bahan Investigasi
JAKARTA – TNI Angkatan Udara tengah mengumpulkan data-data rekaman dua pesawat dengan nomor ekor TT-3111 dan TT-3103 yang jatuh di Pasuruan dan Probolinggo, Jawa Timur, Kamis (16/11). Data-data rekaman itu sebagai bahan investigasi untuk mengungkap penyebab kecelakaan pesawat TNI-AU Super Tucano itu.
Saat ini, tim investigasi sudah berada di lokasi untuk mengumpulkan data-data terkait dengan kecelakaan.
Dilansir dari Antara, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI R. Agung Sasongkojati di Kota Malang, Jawa Timur, mengatakan bahwa tim investigasi saat ini sudah mencapai lokasi di mana dua pesawat tersebut terjatuh.
“Saat ini tim investigasi sudah mencapai di tempat sasaran sedang mengumpulkan data-data terkait dengan kecelakaan, mengamankan barang-barang yang merupakan alat investigasi, dan akan mengamankan flight data recorder (FDR) pesawat,” kata Agung.
Agung menjelaskan pihaknya masih belum bisa memastikan apakah FDR dua pesawat dengan nomor ekor TT-3111 dan TT-3103 tersebut sudah diamankan Tim Investigasi TNI-AU. Namun, dengan kondisi bangkai pesawat yang relatif utuh besar kemungkinan FDR ditemukan.
Selain berupaya mengamankan FDR, katanya, tim investigasi akan mengumpulkan bukti-bukti pendukung lain, seperti jarak jatuh badan pesawat dengan serpihan-serpihan di lokasi kejadian.
“Dari foto yang dikirim tadi pagi (tim) sudah sampai di tempat dan mestinya kalau pesawatnya masih utuh, saya kira masih (FDR, Red) ada, masih didapat. Namun, saya belum bisa mengklarifikasi apakah sudah diambil atau belum,” katanya.
Ia menambahkan jika nantinya FDR dua pesawat tersebut ditemukan, maka akan diperlukan alat khusus untuk membaca rekaman data penerbangan. Ia belum bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca rekaman data tersebut.
“Biasanya untuk membaca itu perlu peralatan khusus. Saya belum tahu apakah kita bisa membaca sendiri atau harus dikirim ke suatu tempat,” katanya.
Seluruh bangkai dua pesawat tempur yang jatuh di wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, tersebut rencananya dikumpulkan di Lanud Abd. Saleh Malang, Jawa Timur. Di lokasi tersebut akan dilakukan proses investigasi untuk memastikan penyebab jatuhnya pesawat tersebut.
Bahkan, lanjutnya, bagian-bagian pesawat tersebut akan dievakuasi menggunakan helikopter karena tidak memungkinkan untuk dibawa melalui jalur darat. Bagian-bagian pesawat tersebut ada kemungkinan akan dipotong agar tidak terlalu berat.
“Tapi kemungkinan kita bisa menggunakan helikopter dan itu harus dipotong supaya tidak terlalu berat dan tidak terlalu sulit untuk diangkat,” katanya.
Diketahui dua pesawat tempur taktis EMB-314 Super Tucano TNI-AU jatuh di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (16/11) kurang lebih pukul 12.00 WIB.
Dua pesawat itu bernomor registrasi TT-3111 dan TT-3103 yang tengah melakukan sesi latihan rutin. Pesawat tersebut ‘take off’ pada pukul 10.51 WIB dan hilang kontak pada 11.18 WIB.
Dua pesawat mengalami hilang kontak usai melakukan manuver formasi dan menembus awan. Dugaan awal, jatuhnya pesawat tempur tersebut akibat cuaca buruk.
Tiga korban meninggal dunia akibat kecelakaan dua pesawat tempur taktis EMB-314 Super Tucano TNI-AU di Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Suropati, Kota Malang, Jawa Timur.
Tiga korban yang dimakamkan di TMP Suropati tersebut adalah Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Subhan, Marsekal Pertama TNI (Anumerta) Widiono Hadiwijaya, dan Kolonel Penerbang (Anumerta) Sandhra Gunawan. Sementara satu korban lain, yakni Letkol Penerbang (Anumerta) Yuda A. Seta dimakamkan di TMP Madiun, Jawa Timur.
TNI-AU mengungkapkan fakta baru terkait jatuhnya pesawat di Pasuruan.
Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama TNI R. Agung Sasongkojati mengungkap penerbang yang terlibat latihan formasi di pesawat itu sempat mengalami situasi blind sebelum dua pesawat hilang kontak dan ditemukan jatuh.
Dalam situasi blind, penerbang tidak dapat melihat situasi di sekitarnya bahkan dalam jarak yang sangat dekat.
’’Mereka terbang formasi, take off satu per satu, setelah naik ke atas, mereka bergabung menjadi satu kesatuan formasi. Formasi itu dekat sekali, pada saat mereka climbing (terbang ke atas, Red) mereka masuk ke awan, in-out, in-out, artinya awan itu tipis-tipis saja. Namun, awan tiba-tiba menebal dengan pekat bahkan pesawat yang dekat saja, yang jaraknya mungkin sekitar 30 meter itu tidak kelihatan, karena sangat tebal,” kata R. Agung saat jumpa pers di Base Ops Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (17/11), seperti dikutip dari Antara.
Prosedur standar penerbang dalam situasi blind harus menjauhkan pesawatnya dari pesawat lain. Mereka sudah mengikuti prosedur, yaitu menjauh dari pesawat lainnya.
’’Dua pesawat selamat karena melaksanakan prosedur melepaskan diri dari formasi setelah memasuki awan yang tebal itu. Ini terekam semua di dalam FDR,” imbuh Agung.
Dia menambahkan informasi terkait detik-detik sebelum pesawat hilang kontak juga dia dapatkan dari dua penerbang lain yang selamat. (jpc/c1/ful)
Kategori :