JAKARTA - Setelah Anwar Usman divonis terbukti melakukan pelanggaran etik berat, celah untuk mendongkel Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat Pilpres 2024 dianggap masih terbuka.
Ada dua permohonan pengujian peraturan syarat usia capres-cawapres yang baru. Mereka meminta hakim konstitusi menganulir keputusan cacat etik, formil, dan legitimasi yang dibuat Anwar Usman.
Salah satu gugatan judicial review itu diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa dan Brahma Aryana. Brahma adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Sedangkan Viktor adalah advokatnya. Dalam petitumnya, mereka meminta pembatalan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah melanggengkan keponakan Anwar, yaitu Gibran, untuk maju sebagai calon wakil presiden 2024.
Putusan etik Majelis Kehormatan MK, yang memecat Anwar dari jabatan Ketua MK, menjadi dasar permohonan mereka.
Dalam putusan etik tersebut, Anwar dinyatakan terbukti melanggar prinsip ketidakberpihakan, independensi, dan integritas hakim. Ada dugaan konflik kepentingan karena Anwar tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan Putusan 90 itu.
“Kalau kita mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Nomor 48 Tahun 2009), ketika terjadi konflik kepentingan, kan itu putusan batal demi hukum,” ungkap Viktor kepada reporter detikX.
Petitum yang diajukan ke MK oleh Viktor tersebut adalah meminta agar syarat menjadi capres-cawapres tetap diperbolehkan di bawah usia 40 tahun asalkan pernah menjabat gubernur.
“Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi,” bunyi petitumnya.
Semalaman kemarin, Viktor mengebut perbaikan materi perkara yang teregistrasi bernomor 141/PUU-XXI/2023 itu.
Harapannya, kata Viktor, MK bisa langsung menggelar sidang perbaikan dan memutus perkara ini sebelum tanggal penetapan capres-cawapres pada 13 November 2023. Tujuannya, agar legitimasi Pilpres 2024 tidak tergerus lantaran salah satu calon wakil presidennya, yakni Gibran, mendaftar dengan putusan yang cacat secara etik.
“Karena, kalau sudah telanjur calon-calon itu di-SK-kan (diputuskan), maka akan berpotensi digugat ke PTUN oleh masing-masing lawan politiknya,” terang pendiri firma hukum VST and Partners ini.
Pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengungkapkan, Perkara 141 itu bisa menjadi pintu masuk untuk mengganti aturan main Pemilu 2024. Sebab, kata Denny, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari sudah menyatakan batas akhir perubahan nama calon presiden bisa dilakukan sampai 13 November 2023. Artinya, sampai tanggal yang ditentukan tersebut, masih ada potensi KPU mengubah lagi syarat usia capres-cawapres sampai ada kepastian hukum tetap.
Namun, lanjut Denny, itu tergantung bagaimana putusan MK terkait perkara yang diajukan. Apabila MK mengabulkan petitum pemohon pada Perkara 141, KPU harus mengikuti aturan main pemilu terbaru yang ditetapkan berdasarkan putusan tersebut. Dengan demikian, pencalonan capres maupun cawapres yang menggunakan Putusan 90 sebagai dasar aturan—dalam hal ini Gibran—juga bakal dinyatakan batal demi hukum.
“Kalau bunyinya begitu, ya harus ada penggantian pasangan calonnya Pak Prabowo sebelum batas waktu 13 November,” tutur Denny saat dihubungi reporter detikX pada Rabu, 8 November 2023.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut juga mengajukan permohonan serupa ke MK. Dia bersama pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, meminta agar: hakim konstitusi menyatakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena cacat formil.
Dalam provisinya, mereka meminta hakim MK memeriksa perkara yang mereka ajukan dengan cepat. Tentu tanpa meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, dan Presiden.
“Guna mempercepat jalannya perkara sehingga tidak menimbulkan gejolak yang terus-menerus terjadi, mengingat jadwal pencalonan presiden dan wakil presiden akan berakhir pada 13 November 2023,” bunyi provisi mereka.
Mantan hakim konstitusi I Dewa Palguna memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bisa dianulir. Artinya, pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto tetap sah secara hukum.
Secara legalitas, Palguna melanjutkan, pendaftaran capres maupun cawapres dengan menggunakan dasar aturan Putusan Nomor 90 itu tidak bisa lagi dipersoalkan. Hanya, legitimasi pencalonan capres-cawapres yang berlandaskan putusan tersebut menjadi terdegradasi lantaran dianggap cacat secara etik. Terlebih lagi jika nantinya MK justru mengabulkan gugatan pemohon pada Perkara 141.
“Karena putusan yang ideal itu, dia memperoleh legalitas sekaligus legitimasi. Jadi, kalau putusannya itu terbukti ada pelanggaran etik, ya tetap ada legalitasnya, tapi cacat di legitimasi,” ucap Palguna kepada reporter detikX kemarin.
Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie juga memberikan pandangan serupa dengan Palguna. Meski sempat memuji gugatan yang diajukan Brahma dan Viktor, Jimly tetap berpandangan bahwa putusan MK atas Perkara 141 tidak bisa mempengaruhi putusan sebelumnya. Kalaupun dikabulkan, kata Jimly, putusan itu hanya bisa berlaku pada Pilpres 2029.
“Jangan dengarkan pendapat orang per orang. Putusan resmi sudah berlaku. Pendapat pribadi sepintar apa pun dia, tidak berlaku dalam kegiatan bernegara,” tulis Jimly melalui pesan WhatsApp kepada reporter detikX.
Dimintai tanggapan terkait adanya potensi perubahan kembali batas usia capres-cawapres, anggota KPU Idham Holik enggan berkomentar banyak. Idham mengatakan KPU hanya bisa menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tidak ingin berspekulasi lebih jauh daripada itu. Dalam kaitannya dengan persyaratan pemilu, pihaknya hanya berpatokan pada aturan perundang-undangan yang sudah berlaku demi menjaga kepastian hukum.
“Berdasarkan hasil verifikasi administrasi, semua dokumen persyaratan pencalonan bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memenuhi peraturan pencalonan yang berlaku,” kata Idham melalui pesan singkat kepada reporter detikX pada Rabu, 8 November 2023.
Di sisi lain, Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengusung pencalonan Gibran sebagai cawapres, kini tengah menyiapkan sejumlah skenario untuk mengantisipasi adanya perubahan-perubahan yang mungkin terjadi lantaran adanya gugatan Perkara 141.
Deputi Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan tim hukum dari Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran sudah mempelajari materi perkara yang digugat Brahma dan Viktor. Tujuannya, mempersiapkan skenario terbaik jika terjadi perubahan drastis lantaran gugatan tersebut. Tetapi, ketika ditanya apakah skenario itu terkait mengganti nama Gibran dengan calon lain, Kamhar hanya menjawab normatif.
“Segala yang berkaitan dengan capres-cawapres itu diserahkan sepenuhnya kepada Pak Prabowo, dan kita menghormati,” pungkas Kamhar kepada reporter detikX. (detik/abd)
Kategori :