Masih kata Agustina, PRL saat ini lebih dikenal sebagai tempat hiburan nonton konser atau festival kuliner daripada ajang pameran hasil pembangunan. “Anjungannya sendiri sebenarnya sudah cukup menarik. Mungkin kurang sosialisasi dan pemberitahuan kepada masyarakat sehingga banyak masyarakat tidak tahu dan membuat anjungan jadi sepi,” tuturnya.
Begitu juga dikatakan Rama, warga Bandarlampung yang meminta agar sebaliknya PRL digratiskan tiket masuknya. Tiket masuk yang berkisar dari Rp15 ribu hingga Rp25 ribu seperti yang sebelum-sebelumnya tidak ekonomis atau ramah untuk masyarakat umum.
Ditambah manajemen parkir pengunjung yang dikelola penyelenggara ataupun yang dikelola masyarakat mematok harga yang tinggi dan beragam. Rama mengungkapkan, saat ini PRL lebih banyak memamerkan artis/band daripada hasil pembangunan pemerintah daerah di Lampung.
“Lihat saja bener-bener yang dipasang, rata-rata sudah menampilkan artis-artis yang akan tampil selama PRL. Kalau terkait pembangunan saya belum lihat ada apa di sana nanti (pameran pembangunan, red),” ungkapnya.
Menurut Rama, pelaksanaan PRL harus sesuai pada konsep awal dilakukan. Yaitu pameran pembangunan capaian kerja pemerintah daerah.
“Harusnya capaian kerja itu yang lebih ditonjolkan. Ini masyarakat pada umumnya rata-rata tidak tahu. Cuma tahunya ada penampilan artis dan tempat hiburan saja,” ungkapnya.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Lampung (Unila) Yusdianto menyebut bahwa esensi Pekan Raya Lampung (PRL) 2024 adalah memamerkan kinerja pemerintah daerah (pemda). Bukan ajang bisnis seperti dengan mematok tarif masuk tinggi kepada masyarakat yang ingin melihat langsung even tahunan Pemerintah Provinsi Lampung tersebut.
Pasalnya tidak bisa dipungkiri, PRL 2024 yang dimulai pada 22 Mei hingga 10 Juni mendatang tampaknya tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya dengan harga tiket masuk yang mahal. Belum lagi biaya parkir yang tidak masuk akal, bisa mencapai Rp30 ribu untuk setiap kendaraan roda empat.
Atas hal itulah, Yusdianto pun menyebut Pemprov Lampung lupa akan esensi dan tujuan dari diselenggarakannya PRL tersebut. ’’Pertama yang harus diingatkan adalah esensi dari PRL, yakni menyiarkan hasil pembangunan pemerintah yang ada di Provinsi Lampung. Jadi esensinya adalah memamerkan hasil kinerja pemimpin daerah,” tegasnya, Senin (13/5).
Menurutnya dengan esensi seperti itu, maka unsur pengemasan supaya menarik seperti hiburan musik tidak perlu terlalu difokuskan. ’’Kalau hiburan dan seterusnya itu pelengkap saja. Yang paling penting adalah memamerkan hasil kinerjanya dari capaian para pemimpin. Kalau hiburan itu kan hanya pengemasan agar dilihat lebih menarik atau sifatnya partisipasif. Jadi jangan sekadar memindahkan, katakanlah dari pasar ke pameran, sehingga jadi enggak logis dan enggak bagus,” ucapnya.
Dia juga menekankan Pemprov Lampung sudah seharusnya memikirkan hal dasar tersebut. Bukan sebaliknya yang baik oleh pemerintah provinsi maupun pihak ketiga yang ditunjuknya dijadikan lahan bisnis belaka.
’’Jadi kritik kita yang paling mendasar adalah itu, harus dikembalikan pada esensi yang sesungguhnya. Apa tujuan dari PRL itu? Kalau esensinya memamerkan hasil kinerja, maka harus melibatkan semua pihak dan masyarakat yang ingin mengetahuinya tidak boleh bayar. Kalaupun nanti ada biaya tambahan atau sebagainya harus disesuaikan kemampuan masyarakat,” katanya.
Menurutnya ini bukan tanpa sebab. Bila dilihat dari riwayat tahun ke tahun, PRL yang digelar setiap tahunnya bukan semakin ramai, melainkan semakin sepi saja rakyat yang datang. ’’Kita sudah lihat dari PRL-PRL sebelumnya, cenderung sepi karena tarif yang begitu tinggi. Kalau itu mengarah bisnis, maka tidak perlu dinamakan atau diadakan PRL. Lakukan saja Festival Lampung atau sebagainya. Jangan menggunakan agenda provinsi kalau memberatkan masyarakat luas. Apalagi kita tahu kemampuan masyarakat pasca bangkit dari Covid-19 dan El Nino itu belum terlalu baik dan terbatas. Kritik kita paling keras adalah semua pihak di pemerintah provinsi untuk menggratiskan biaya masuk karena ini pameran pembangunan, bukan konser,” ucapnya.
Apalagi karena agenda ini menggunakan dana APBD, menurutnya maka sudah seharusnya pemerintah daerah tidak boleh memberatkan masyarakat. ’’Masak pemerintah tidak bisa memfasilitasi untuk gratis. Masak iya rakyat harus bayar untuk melihat hasil kerja pembangunan pemerintah ýang bekerja untuk rakyat,” tandasnya.
Serupa disampaikan salah satu manager marketing perusahaan swasta ternama di Bandarlampung. Ia menyebut sewajarnya masuk arena PRL tidak dipungut bayaran. Apalagi, menurutnya, itu banyak menampilkan usaha kecil dan menengah (UKM).
’’Jadi ya harusnya kasih masyarakat melihat dan masuk sebanyak-banyaknya tanpa dibebani biaya. Toh juga kita bayar parkir, panitia juga sudah ada pendapatan parkir. Kan banyak itu,” kata manager marketing yang minta namanya tak disebutkan ini.