Agun Gunandjar Sudarsa: Putusan MK Bukan Akhir Proses Legislasi

Kamis 07 Aug 2025 - 20:57 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA - Wakil Ketua Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI Agun Gunandjar Sudarsa mengungkapkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pemilu dan pilkada bukanlah akhir dari seluruh proses legislasi. 

Menurutnya, meskipun putusan MK bersifat final dalam ranah yudisial, implementasi teknis dari keputusan tersebut masih membutuhkan regulasi yang disusun bersama oleh DPR RI dan pemerintah melalui undang-undang.

“Putusan MK itu final, ya. Tapi implementasi teknisnya tidak serta merta langsung berlaku tanpa adanya kebijakan lanjutan dari DPR dan pemerintah,” kata Agun dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang diadakan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Ia menambahkan bahwa kehadirannya dalam diskusi tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab moral sebagai salah satu penyusun Undang-Undang Dasar hasil amandemen. Agun juga menolak anggapan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah satu-satunya lembaga yang dapat memaksakan pelaksanaan kebijakan negara tanpa melalui proses legislasi.

BACA JUGA:Wali Kota: UMKM Jangan Ragu Ajukan Pinjaman

Agun mengingatkan bahwa Indonesia menerapkan sistem ketatanegaraan yang terbuka, dan keputusan MK seharusnya tidak disikapi secara emosional. Ia mengajak semua pihak untuk tetap menghormati putusan MK dengan bijaksana dan menggunakan akal sehat.

“Itulah konsekuensi hidup dalam era keterbukaan. Jangan terlalu emosional. Hormati putusan, tetapi tetap gunakan akal sehat dan disiplin ilmu,” tegasnya.

Lebih lanjut, Agun menyampaikan bahwa fenomena "amnesia konstitusional" dan narasi 'negara hukum suprematif' harus dipahami dalam konteks keseimbangan antara kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dalam hal ini, DPR RI, sebagai pemegang kekuasaan legislasi, memiliki peran penting dalam proses pembuatan undang-undang.

Agun juga menegaskan bahwa segala kebijakan legislasi harus berpegang pada dasar negara: Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia merujuk pada Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dalam struktur NKRI. Menurutnya, pemilihan kepala daerah melalui Pilkada tidak bisa disamakan dengan Pemilu serentak yang melibatkan DPR RI, DPD, dan Presiden.

“Kepala daerah tidak harus ikut Pemilu serentak. Pilkada bukan bagian dari Pemilu nasional menurut konstitusi. Ini adalah pemahaman dasar hukum tata negara,” jelas Agun.

Dalam kesempatan tersebut, Agun juga mengkritik Mahkamah Konstitusi yang dianggap mulai “turun level” dengan mengurusi perkara yang seharusnya berada di luar kewenangannya, seperti Pilkada. Ia menegaskan bahwa seharusnya MK tetap fokus pada perannya sebagai pengadilan konstitusi, bukan terlibat dalam urusan teknis Pemilu atau Pilkada.

“MK itu terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Jangan sampai turun ke hal-hal yang lebih teknis, seperti Pilkada. Biarkan DPR dan pemerintah yang menyusun regulasi teknisnya,” ujar Agun.

Ia juga menegaskan bahwa produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah bukanlah putusan hukum, melainkan kebijakan politik. Karena itu, menurutnya, apapun putusan MK, jika tidak diikuti dengan regulasi yang sesuai, pelaksanaannya tidak bisa dilaksanakan.

“Putusan MK bukan kebijakan politik. DPR dan pemerintah punya tugas masing-masing dalam membuat regulasi. Jangan dicampuradukkan,” tambah Agun.

Sebagai salah satu inisiator Undang-Undang Kementerian Negara dan pembuat Undang-Undang Pemerintahan Daerah pada tahun 2004, Agun menegaskan bahwa semangat sistem presidensial dan NKRI harus terus diperkuat dalam setiap perumusan kebijakan publik. (disway/c1/abd) 

Kategori :