Abdul Hakim: Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Terlalu Jauh

RADAR - BACA KORAN--

JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan daerah dinilai sebagai bentuk judicial activism yang berlebihan dan berpotensi melampaui kewenangan lembaga yudikatif. 

Hal tersebut disampaikan pengamat politik Abdul Hakim A.S. dalam diskusi bertajuk "Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu" di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8).

Menurut Abdul Hakim, saat ini MK telah berubah menjadi lembaga superbody yang tidak memiliki mekanisme pengawasan memadai. Ia menyebut keputusan yang dikeluarkan sembilan hakim konstitusi mampu “menyihir” sistem politik nasional tanpa melibatkan partisipasi publik.

“Saya cukup terkejut dengan putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Keputusan itu diambil tanpa ada diskusi terbuka dengan masyarakat, Bawaslu, KPU, bahkan DPR. Padahal, pemilu menyangkut seluruh rakyat Indonesia,” kata Abdul Hakim.

Ia menegaskan, keputusan fundamental seperti ini seharusnya melalui konsultasi luas dengan berbagai pemangku kepentingan. Abdul Hakim menilai MK seharusnya berfungsi sebagai penafsir undang-undang, bukan sebagai pembentuk norma hukum baru.

“MK itu seharusnya hanya menafsirkan, bukan menciptakan norma. Tapi sekarang, MK justru mengambil alih peran pembentuk undang-undang. Ini yang saya sebut judicial activism yang berlebihan,” tegasnya.

Abdul Hakim juga mengungkapkan potensi tumpang tindih aturan akibat pemisahan pemilu nasional dan daerah, seperti perubahan masa jabatan anggota DPRD yang bisa melampaui lima tahun.

“Kalau DPRD tidak ikut pemilu nasional, maka masa jabatannya bisa sampai tujuh tahun. Ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar pemilu lima tahunan dalam UUD 1945,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengkritisi posisi MK yang saat ini tidak memiliki lembaga pengawas. Dalam sistem demokrasi modern, kata dia, prinsip check and balance adalah keniscayaan yang harus diterapkan, termasuk terhadap MK.

“MK saat ini seperti Sabdo Pandito Ratu. Keputusannya final dan mengikat, tapi tidak ada mekanisme pengujian atau koreksi. Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita,” ungkapnya.

Ia pun menyerukan perlunya pembenahan sistem kelembagaan MK agar tidak menjadi lembaga tanpa akuntabilitas.

“Kalau ada pelanggaran etik, MK yang memeriksa dirinya sendiri. Mereka juga menyusun aturan dan anggaran secara mandiri. Ini tidak sehat. MK tidak bisa dibiarkan seperti ini terus,” pungkas Abdul Hakim. (disway/c1/abd)

 

Tag
Share