JAKARTA – Penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dikhawatirkan bisa memberikan dampak kontraproduktif terhadap kelangsungan industri makanan dan minuman. Ketika terjadi efisiensi, maka jumlah tenaga kerja akan berkurang. Oleh karennya, pemerintah harus mencari jalan tengah supaya kebijakan tersebut bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak.
“Industri minuman juga menyerap lapangan kerja (dalam jumlah besar). Menurut mereka (pengusaha) dengan turunnya permintaan, (maka) bisnisnya bisa terkontraksi dan profit turun. In the long run akan menurunkan jumlah tenaga kerja,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty ketika ditemui di Jakarta belum lama ini.
Untuk tahun 2024 dan 2025 ini pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai MBDK masing-masing sebesar Rp 4,3 triliun dan Rp 3,8 triliun. Kemudian pengenaan cukai MBDK menghadapi dua pertentangan saat diterapkan yaitu akan mengurangi konsumsi gula tetapi bila diterapkan maka akan menekan kelangsungan industri.
Pemerintah menggunakan instrumen cukai untuk mengurangi konsumsi terhadap barang yang dianggap memberikan dampak negatif ke masyarakat. Sedangkan, kalangan pengusaha masih bersikap wait and see sembari menunggu kepastian dari pemerintah. “Konsumsi terhadap minuman-minuman yang produk industri Itu memang menjadi bagian dari perhatian kami,” tutur dia.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR sudah mengusulkan pemerintah agar menetapkan tarif cukai MBDK sebesar 2,5% pada tahun 2025. Nantinya tarif cukai MBDK ditargetkan untuk naik secara progresif hingga mencapai maksimal sebesar 20%.
Sebelumnya, Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis (DJBC) Kementerian Keuangan M. Aflah Farobi mengatakan kajian penerapan cukai MBDK dilakukan terkait besaran cukai hingga produk yang akan dikenakan cukai MBDK. Menurut dia, pemerintah harus melakukan pertimbangan secara mendalam bila kebijakan pungutan cukai MDBK dijalankan.
“Kemarin ada masukan tarif 2,5%, karena masih proses pengkajian, 2,5% jadi belum kami putuskan. Ini pengaruh nantinya bagaimana policy pemerintah. Jadi mengenai tarif yang akan dikenakan masih dikaji secara intensif,” tutur Aflah.
BACA JUGA: Kasasi Ditolak MA, Sritex Diharapkan Tidak PHK Karyawan
Diketahui pemerintah berencana menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan cukai untuk jenis barang ini mencapai Rp 6,25 triliun.
Peneliti LPEM FEB UI) Telisa Aulia Falianty menyatakan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Berbagai usulan mencuat untuk besaran tarif cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan. Salah satunya datang dari Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR yang mengusulkan besaran cukai 2,5%.
“Tapi, kemudian pemerintah itu merancang aturan mengenai jenisnya, jadi minuman berpemanis dalam kemasan seperti minuman ringan, teh kemasan, dan minuman energi itu adalah Rp 1.500 per liternya,” ujar Telisa di Jakarta, pada Jumat (20/12/2024), seperti dikutip dari Antara. Sementara itu, minuman berpemanis dari konsentrat atau ekstrak, seperti sirup, tarifnya diusulkan Rp 2.500 per liter.
Telisa menyatakan bahwa pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK itu menjadi penting untuk mendukung upaya menjaga tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi, saat ini diabetes menjadi jenis penyakit yang menelan banyak korban dan memakan banyak anggaran negara untuk pengobatan.(investorid/nca)