Aturan Rokok Tanpa Merek Berpotensi Hilangkan Rp308 Triliun
BERPOTENSI HILANGKAN PENDAPATAN: Ekonom INDEF menyebut aturan pemerintah penyeragaman kemasan rokok dan rokok elektrik berpotensi hilangkan pendapatan negara. -Foto B-Universe Photo/Uthan A Rachim-
JAKARTA – Aturan pemerintah yang akan menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek disoal. Aturan tersebut dikhawatirkan bakal menghilangkan potensi penerimaan negara.
Seperti diketahui, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan) telah ditetapkan pada 26 Juli 2024 lalu yang diundangkan dan berlaku juga pada tanggal 26 Juli 2024.
Di dalam PP tersebut memuat 13 bab dan 1171 pasal, memuat pengaturan hal-hal terkait kesehatan. Termasuk, diantaranya pengamanan zat adiktif yang diatur dalam bagian ke 21. Termasuk, mengenai kemasan produk tembakau dan rokok elektronik.
Head of Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menjelaskan aturan tersebut berdampak pada perekonomian Indonesia, termasuk dari sisi penerimaan negara.
"Jadi Indef sudah melakukan perhitungan terkait dengan jika rancangan Permenkes ini dilakukan, kurang lebih dampaknya sendiri itu ada Rp 308 triliun, itu dari dampak ekonomi saja," katanya dalam acara detikcom Leaders Forum 'Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru' di Jakarta baru-baru ini.
Dari sisi penerimaan negara, kata Andry pemerintah bisa kehilangan Rp 160,6 triliun. Sedangkan di sisi lain, penerimaan negara akan semakin turun tiap tahun dari industri tembakau.
Target penerimaan cukai dari sektor tersebut pada tahun 2023 belum melampaui target, yakni Rp 213 triliun dari target sebesar Rp 218,7 triliun yang ditetapkan.
"Jadi ada ketidaktercapaian di Rp 5 triliun untuk tahun 2023. Nah bayangkan kalau kita langsung ya pada hari ini diterapkan itu kurang lebih Rp 160,6 triliun itu akan hilang begitu saja. Padahal kita tahu Rp 160,6 triliun itu 7 persen dari penerimaan perpajakan negara," terangnya.
Selain itu dari sisi tenaga kerja, Andry menerangkan sebanyak 2,29 juta tenaga kerja yang mungkin akan terjadi apabila merujuk pada data tenaga kerja industri hasil tembakau 2019 lalu, angka itu setara 32% yang terdampak.
"Jadi kalau kita lihat secara total, kalau total penduduk bekerja ini ada di 1,6%. Kalau merujuk kepada tenaga kerja industri hasil tembakau tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Kemenperin pada saat itu, itu kurang lebih 32% lah yang akan terdampak. Jadi cukup besar begitu," jelas dia.