Mereka antusias dengan tugas membuat cerpen, kecuali Cahya. Ia tampak sangat lesu mengeluarkan bukunya. Tangannya begitu malas untuk mengerjakan tugas yang sudah diberikan.
Waktu satu setengah jam pelajaran berlangsung sangat cepat. Seluruh siswa sudah mengumpulkan tugasnya. Bu putri membaca satu per satu hasil karya siswanya. Kegiatan menilainya terhenti ketika ia melihat tugas cerita milik Cahya.
“Cahya, tolong ke depan!” Cahya melangkah ragu menuju meja guru.
“Cerita kamu menarik. Kamu sering membuat cerpen, ya?” Gadis itu mengangguk.
“Ibu memiliki informasi tentang perlombaan menulis cerpen. Lumayan jika menang. Apakah kamu bersedia untuk ikut? Ibu akan sangat senang jika Cahya ikut.”
Cahya terdiam bingung harus menjawab apa.
“Cahya ingin ikut, tapi Cahya tidak bisa. Ayah tidak mengizinkan menulis, apalagi mengikuti lomba. Ayah tidak akan pernah setuju.”
“Cahya, tidak ada salahnya untuk mencoba. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Mengenai masalah dengan ayahmu, Ibu akan mencoba berbicara dengan orang tuamu.”
Cahya terdiam. Pikirannya berkecamuk, lalu beberapa menit kemudian ia mengangguk.
“Cahya akan ikut lombanya, Bu,” jawab Cahya dengan sedikit ragu karena masalah izin dari ayahnya.
Ibu Putri tersenyum senang.
***
Siapa nyana kalau Ibu Putri benar-benar berkunjung ke rumah Cahya menepati janjinya untuk bertemu berbicara dengan orang tuanya.
“Maaf, Bu. Rumah kami sedikit berantakan,” basa-basi ibu Cahya ketika menyambut kedatangan Ibu Putri.
“Nama Saya Putri, guru Bahasa Indonesia Cahya,” Ibu Putri memperkenalkan diri.
“Apa Cahya membuat masalah di sekolah sehingga Ibu datang ke rumah kami?” ayah Cahya langsung melontarkan pertanyaan kepada Ibu Puti.