Setitik Bakat

Jumat 24 Nov 2023 - 22:21 WIB
Reporter : Tim Redaksi
Editor : Rizky Panchanov

Oleh: Aurel Chintya Bella

SMAN 10 Bandar Lampung

Ruangan gedung dengan ukuran seluas lapangan bola tampak semarak dipenuhi cahaya kamera. Suara riuh para wartawan dari berbagai media massa terdengar memenuhi ruangan. Mereka sudah tidak sabar menunggu kedatangan seseorang.

“Hadirin yang terhormat, tanpa menunggu lebih lama lagi, mari kita sambut penulis favorit kita, Cahya!” terdengar suara samar pewara yang bercampur dengan riuh wartawan.

Dari pojok kanan ruangan, tampak seorang gadis berambut lurus sebahu melangkah tergesa-gesa menaiki anak tangga panggung. Bunyi dan cahaya dari kamera semakin ramai berkilatan. 

Wartawan berebut saling mendorong, berdesak-desakan. Mereka seperti berlomba untuk berada di posisi terdepan. Mereka ingin menanyakan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan.

“Senang rasanya Anda menyempatkan hadir ke acara ini. Selamat atas novel terbaru yang telah terjual sebanyak satu juta eksemplar dalam waktu dua hari,” ujar pewara mengawali sesi wawancara siang itu. Semua tampak antusias menyimak, termasuk wartawan yang bertepuk tangan memberi apresiasi.

“Mungkin ada beberapa wartawan yang ingin bertanya. Mari, kita buka sesi tanya jawab!” ujar pewara seolah mengerti dengan kegelisahan wartawan yang sudah menunggu sedari tadi. 

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, seluruh wartawan mengangkat tangan untuk mendapatkan giliran melontarkan pertanyaan. Pewara dengan cekatan menunjuk seorang perempuan berbaju biru untuk bertanya.

“Bisa ceritakan bagaimana perjuanganmu hingga bisa jadi seperti sekarang?” Cahya terdiam beberapa detik, lalu mengangguk.

“Jadi, awalnya begini …”

Mendadak semuanya menjadi sunyi. Tidak ada lagi terdengar suara gaduh dan riuh dari para wartawan. Bahkan, jika ada jarum jatuh ke lantai, pasti akan terdengar. Mereka menanti untaian cerita yang akan segera meluncur dari bibir Cahya.

***

“Ayah sudah sering mengingatkanmu. Berhenti melakukan hal-hal yang tidak penting,” suara lantang Ayah dibarengi sobekan kertas berisi tulisan-tulisan Cahya yang semakin membuatnya menangis sesenggukan.

“Sekali lagi Ayah ingatkan, tugas kamu itu hanya belajar, belajar, belajar, dan pastikan dapat peringkat terbaik! Itu baru membuat Ayah bangga. Bukannya menulis hal-hal yang tidak penting!” wajah Ayah merah padam menahan amarah yang semakin memuncak. Cahya meringkuk di meja belajar yang terletak di sudut kamarnya. Tubuhnya berkeringat dingin dan gemetar menahan rasa takut. Wajahnya tampak semakin memucat ketakutan.

Kategori :

Terkait

Jumat 09 Aug 2024 - 21:35 WIB

Untaian Asa

Jumat 02 Aug 2024 - 21:40 WIB

One of the Standards of Beauty

Jumat 26 Jul 2024 - 22:34 WIB

Beda yang Sama

Jumat 19 Jul 2024 - 22:15 WIB

Irreplaceable

Jumat 12 Jul 2024 - 22:20 WIB

Manusia Pilihan