Di sisi lain, lanjut Komaidi, jika industri hulu migas tidak beroperasi, dampak ekonomi yang dirasakan akan sangat besar. ReforMiner memperkirakan potensi kerugian yang bisa terjadi mencakup hilangnya PDB senilai Rp420 triliun, penerimaan negara Rp200 triliun, dan investasi sekitar Rp210 triliun.
Selain itu, kebutuhan devisa impor migas diproyeksikan meningkat tajam pada 2050, dengan perkiraan mencapai Rp2.500 triliun hingga Rp3.500 triliun. Meskipun demikian, Komaidi menekankan, kinerja industri hulu migas Indonesia telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Rata-rata produksi minyak bumi dan gas bumi Indonesia turun sekitar 3,06 persen dan 1,87 persen per tahun sejak 2013 hingga 2023. Penurunan ini juga tecermin dalam cadangan minyak dan gas bumi yang menyusut masing-masing sebesar 5,34 persen dan 7,49 persen per tahun pada periode yang sama.
Untuk mengatasi penurunan tersebut, lanjut Komaidi, sejumlah langkah telah diambil oleh para pemangku kepentingan, termasuk penemuan cadangan migas baru di Geng North (Kutai) dan South Andaman. Selain itu, beberapa proyek pengembangan di Natuna dan optimalisasi sumur yang sudah beroperasi juga terus dilakukan untuk meningkatkan kembali produksi migas nasional.
Pemerintah juga telah mendukung industri hulu migas melalui kebijakan yang memperkuat posisinya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Sejumlah regulasi seperti Perpres No.58/2017, Perpres No.56/2018, dan Perpres No.109/2020 diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan proyek-proyek hulu migas strategis.
"Permasalahan perizinan masih menjadi kendala utama yang perlu segera diselesaikan," kata Komaidi.
Kompleksitas perizinan yang melibatkan hingga 19 kementerian atau lembaga masih menjadi tantangan signifikan bagi pelaku usaha migas. Pemerintah diharapkan dapat lebih proaktif dalam menyederhanakan proses perizinan ini agar produksi migas dapat meningkat, sesuai dengan filosofi Production Sharing Contract (PSC) yang menekankan peran negara sebagai pemilik sumber daya. (jpc)