Tok! MK Tegas Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan

Sidang putusan akhir sengketa Pilkada 2024 di gedung I Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025). -FOTO BERITASATU.COM -

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN maupun APBD.
Penegasan itu tertuang pada putusan teranyar Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta, Kamis (28/8/2025)  sore.
“Mengabulkan permohonan pemohon I untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dikutip dari Antara.
Mahkamah secara eksplisit memasukkan frasa “wakil menteri” ke dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang pada mulanya hanya berisi larangan rangkap jabatan untuk menteri.
MK menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang tertuang dalam amar putusan.
Dengan putusan itu, Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara kini menjadi berbunyi: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Perkara 128 ini dimohonkan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa dan pengemudi ojek daring Didi Supandi. Namun, MK menyatakan permohonan Didi tidak dapat diterima karena yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan hukum.
Terhadap putusan tersebut, dua orang hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Arsul Sani.
Diketahui sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pembacaan putusan atas perkara uji materi yang mempersoalkan praktik wakil menteri merangkap jabatan, Kamis (28/8/2025) mulai pukul 13.30 WIB.
Dua perkara terkait wakil menteri (wamen) rangkap jabatan yang bakal diputus MK, antara lain, Perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan advokat Viktor Santoso Tandiasa dan pengemudi ojek daring Didi Supandi serta Perkara Nomor 118/PUU-XXIII/2025 dengan pemohon aktivis hukum, Ilham Fariduz Zaman dan A Fahrur Rozi.
“Acara: pengucapan putusan/ketetapan. Tempat: Gedung I MK RI,” demikian keterangan agenda sidang yang dikutip dari laman resmi MK.
Dalam Perkara 128, Viktor dan Didi menguji konstitusionalitas Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal tersebut berbunyi “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Keduanya mempersoalkan frasa “menteri dilarang merangkap jabatan” dan meminta MK untuk memaknai ulang pasal tersebut dengan menambahkan frasa “wakil menteri” sehingga ketentuan larangan rangkap jabatan dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku untuk menteri dan wamen.
Sementara itu, dalam Perkara 118, Ilham dan Fahrur menguji Pasal 23 UU Kementerian Negara serta Pasal 27B dan Pasal 56B UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Sama dengan permohonan Viktor dan Didi, Ilham dan Fahrur meminta Pasal 23 UU Kementerian Negara ditambahkan dengan frasa “wakil menteri” agar wamen tidak lepas dari kualifikasi ketentuan larangan rangkap jabatan.
Adapun Pasal 27B Undang-Undang BUMN berisi larangan rangkap jabatan dewan komisaris BUMN, sementara Pasal 56B Undang-Undang BUMN mengatur larangan rangkap jabatan dewan pengawas BUMN.
Menurut Fahrur dan Ilhan, kedua pasal tersebut belum memberikan kualifikasi yang rigid dan eksplisit tentang jabatan apa saja yang dilarang untuk diduduki secara bersamaan oleh dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN.
Kondisi itu berbeda dengan aturan larangan rangkap jabatan untuk dewan direksi BUMN yang diatur dalam Pasal 15B dan 43D Undang-Undang BUMN.
Perbedaan mendasar, yaitu dewan pengawas dan dewan komisaris tidak dilarang merangkap jabatan struktural dan fungsional pada kementerian/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah layaknya larangan terhadap dewan direksi.
Selain itu, dewan pengawas dan dewan komisaris BUMN juga tidak dilarang merangkap sebagai pengurus partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, kepala daerah, dan/atau wakil kepala daerah ataupun jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Oleh karenanya, Pasal 27B dan Pasal 56B UU BUMN dinilai bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyamakan aturan larangan rangkap jabatan dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN sebagaimana larangan rangkap jabatan untuk dewan direksi.
Kedua perkara tersebut akan diputus oleh Mahkamah bersamaan dengan 11 perkara uji materi lainnya siang nanti. (beritasatu/c1/yud)

Tag
Share