JAKARTA - Industri penerbangan didorong untuk secara perlahan meninggalkan bahan bakar fosil yang merusak lingkungan.
Tapi saat ini, bahan bakar yang dianggap ramah lingkungan itu punya biaya lebih mahal dan bukan pilihan pertama bagi perusahaan penerbangan.
Dilema tersebut disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam Jakarta Globe Forum dengan tema, Konektivitas Kunci Pemerataan Ekonomi yang digelar di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, pada Jumat (20/9).
Budi Karya menerangkan, perusahaan penerbangan dituntut untuk mengoptimalkan operasional jumlah pesawat yang dimiliki.
BACA JUGA:Kolaborasi Pemkot dan PLN Hadirkan SPKLU Pertama di Kota Metro
Optimalisasi termasuk terkait bahan bakar yang digunakan di tengah harga minyak yang ikut mengerek harga avtur.
“Jadi memang karena kita menyadari bahwa apapun naik pesawat itu biayanya jauh lebih mahal. Apalagi dengan perkembangan harga minyak yang naik yang berkonsekuensi avtur juga pasti naik,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Budi Karya, beberapa diskusi membahas upaya-upaya agar pesawat mulai mengkonsumsi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Salah satunya adalah B100 atau biodiesel yang diharapkan dapat menggantikan bahan bakar fosil seperti avtur.
BACA JUGA:Lahan Milik Warga di Mesuji Terbakar
“Ya, memang itu upaya-upaya yang kita lakukan dalam organisasi aviasi, ICAO. Bahwa kita tidak harus tergantung dengan fosil. Itu ide-ide baik, ya. Karena one day fosilnya habis, satu saat ini yang namanya menggunakan bahan bakar fosil itu pencemaran lingkungan,” tuturnya.
Budi Karya menuturkan, arah industri penerbangan untuk menggunakan bahan bakar berkelanjutan tengah diupayakan.
Akan tetapi, Budi mengakui bahwa sekarang ini bahan bakar ramah lingkungan relatif punya biaya yang lebih mahal dibandingkan bahan bakar fosil.
Dengan demikian, inovasi untuk mendukung industri penerbangan sangat dibutuhkan di masa mendatang.
BACA JUGA:Dukung Peningkatan Kualitas, Dekranasda Tulangbawang Ajak Perajin Manfaatkan Teknologi