’’Jika suatu negara itu bisa memproduksi calon pemimpin politik, berarti itu suatu keberhasilan. Karena salah satu output demokrasi juga negara bisa memproduksi calon pemimpin publik,” ucapnya.
Dedy juga menilai, fenomena kotak kosong ini menjadi menarik. Hal ini dimungkinkan terjadi lantaran beberapa hal. Di antaranya sebagai imbas dari koalisi politik nasional.
“Kemungkinan terjadi seperti itu benang merahnya. Terjadi dari pusat hingga ke tingkat bawah. Jika kita refleksikan lagi, kemungkinan juga adanya kejenuhan masyarakat terhadap kondisi politik di Indonesia yang selama ini terjadi ya. Makanya, para elite itu mencoba menghadirkan model kotak kosong ini,” paparnya.
Menurutnya, yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana menjaga tingkat partisipasi pemilih di daerah pilkada yang hanya ada satu kandidat paslon saja.
“Partisipasi pemilih terancam dengan fenomena ini. Saya kira wajar, karena masyarakat menjadi tidak antusias lagi karena sudah ada pasangan calon sebagai kandidat kuat pemenang pilkada,” jelasnya.
Jika fenomena kotak kosong memang ini terjadi, tentu perlu adanya kajian yang lebih mendalam tentang bagaimana proses politik di Indonesia.
BACA JUGA:Sisihkan Popularitas 12 Nama, Dua Tokoh Ini Paling Disukai
“Bisa jadi praktik demokrasi liberal di Indonesia memang kurang cocok dengan kultur masyarakat Indonesia, atau tidak ada progres kemajuan dari demokrasi yang berkualitas. Ini juga bisa didasari dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Pilpres mau dikembalikan lagi ke legislatif dan sebagainya, sehingga muncul kotak kosong ini,” tandasnya. (abd/c1/fik)