--Bisa Turunkan Cost dan Money Politics di Masyarakat --
BANDARLAMPUNG - Belakangan di Provinsi Lampung terhirup aroma terjadinya fenomena kotak kosong dalam pilkada serentak 2024.
Tanda-tanda fenomena kotak kosong ini mulai terlihat pada pilkada di beberapa kabupaten/kota maupun pada Pemilihan Gubernur Lampung.
Untuk di Pilgub Lampung, aroma kuat fenomena kotak kosong merebak setelah DPP Partai NasDem memberikan rekomendasinya kepada Ketua DPD Partai Gerindra Lampung Rahmat Mirzani Djausal (RMD) sebagai bakal calon Gubernur Lampung.
Padahal, partai besutan Surya Paloh itu memiliki kader potensial Herman H.N. yang notabene Ketua DPW Partai NasDem Lampung.
Meskipun surat rekomendasi belum terformat dengan wakil, sudah ada tiga parpol yang mengusung Mirza. Jumlahnya lebih dari cukup dari ambang batas minimal 17 kursi. Sejauh ini, Mirza sudah mengantongi 37 kursi dari Partai Gerindra, PKB, dan Partai NasDem.
Tidak hanya itu, fenomena kotak kosong juga tercium di beberapa daerah. Di antaranya Kabupaten Lampung Barat dan Bandarlampung.
Untuk di Lampung Barat, mantan Bupati setempat Parosil Mabsus sudah berada di atas angin. Sementara, di Bandarlampung, petahana Eva Dwiana sudah mengunci ambang batas dengan 25 kursi. Dia sudah mengantongi surat rekomendasi dari Partai NasDem, Demokrat, PKS, dan terakhir Partai Golkar.
Sebagian pihak menilai fenomena kotak kosong ini menjadi gejala kemunduran demokrasi. Namun, di bagian lain, fenomena kotak kosong ini dinilai memiliki keuntungan lain.
BACA JUGA:DPRD Lampung Gelar Paripurna RPJMD dan Enam Raperda
Hal itu diutarakan oleh akademisi Universitas Lampung Dr. Dedy Hermawan, Rabu (7/8).
Dijelaskan Dedy, keuntungan dari kotak kosong ini adalah bisa meminimalisasi politik transaksional di masyarakat sehingga berujung menghapus praktik money politics di kalangan pemilih.
’’Secara cost politik, ini juga bisa lebih hemat karena tidak perlu ada jual-beli suara. Karena hanya menghadirkan satu kandidat pasangan calon. Meminimalkan transaksional di masyarakat,” ujarnya.
Kendati demikian, sambungnya, jika dilihat dari kacamata demokrasi, ini merupakan kemunduran. Sebab, tidak terjadi kaderisasi politik yang baik.