Tapis Tenun untuk Bu Lia
foto is-FOTO IST-
Ela yang patah semangat seakan langsung mendapat pencerahan dari Bunda. Ia tersenyum senang. Ela menganggukkan kepalanya setuju, tetapi masih ada beberapa keraguan yang mengganjal dihatinya.
"Oke, Bun, tapi dengan siapa dan di mana Ela belajar menenun tapis?”
"Ah, itu gampang. Bunda akan diskusi dulu sama Ayah. Pasti ada solusinya!"
Bunda berhasil menangkis semua keraguan yang ada di hati Ela.
***
Kabar Bu Lia akan purnatugas sudah didengar oleh teman-teman sekelas. Mereka berencana untuk membeli buket bunga dan mengadakan acara makan bersama. Beberapa guru bahkan ingin ikutan nimbrung pada acara ini. Ela menyampaikan maksunya untuk memberikan kenang-kenangan berupa kain tapis kepada Bu Lia. Dukungan dari teman-teman sekelas membuatnya semakin bersemangat.
Jam sekolah telah usai. Ela pun menunggu kedatangan Ayah di depan gerbang sekolah. Terik matahari menyengat kulit kepala Ela hingga butiran-butiran keringat membasahi hampir sebagian wajahnya. Ela berkali-kali mengusap keringat di dahinya. Akhirnya yang Ela tunggu datang. Sebuah mobil hitam melaju dari arah berlawanan.
Ela masuk mobil dan duduk di samping kursi kemudi. Ia menghadap ke arah kaca jendela yang menyuguhkan pemandangan kota Bandar Lampung. Sepanjang perjalanan, Ayah tak berkata sepatah kata pun. Akhirnya Ela tertidur karena bosan.
Ela pun terbangun saat Ayah menghentikan mobil di halaman rumah panggung khas Lampung. Terdapat plang bertuliskan Nuwo Sanggar Tapis Lampung. Ela sedikit heran. Rupanya Bunda telah menceritakan semuanya kepada Ayah sampai akhirnya Ayah berinsiatif untuk mengajaknya ke sini.
"Akhirnya yang ditunggu datang juga! Hahaha...." ucap seorang pria paruh baya menyapa Ayah dengan ramah dan ceria karena sepertinya keduanya sudah saling mengenal. Sesuatu yang menarik perhatian mata Elana adalah kopiah emas dengan motif khas Lampung yang dipakai oleh pria paruh baya itu.
"Ela, kenalkan ini Pak Hasan, pemilik sanggar ini. Nanti Beliau akan mengenalkanmu pada salah satu penenun di sini,” ucap Ayah mencoba menjelaskan. Ela pun mengangguk kemudian berjabat dangan dan mencium punggung tangan Pak Hasan.
Di ruangan tengah, Ela langsung disambut dengan berbagai kain tapis yang ditenun menjadi berbagai barang, seperti pakaian, peci, dompet dengan motif yang berbeda-beda. Di dinding juga dipajang beberapa penghargaan yang diraih oleh Nuwo Sanggar Tapis Lampung ini dari tingkat daerah hingga nasional. Ketika masuk ke ruangan berikutnya, Ela terkejut melihat banyaknya pengrajin kain tapis yang mayoritas ibu-ibu. Pak Hasan bercerita bahwa beliau mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga yang ada di sekitar Nuwo Sanggar ini. Selain itu, beliau juga mempekerjakan pemuda dan pemudi desa yang tidak memiliki pekerjaan.
Pandangan Ela tertuju pada seorang perempuan muda yang sedang menenun kain tapis dengan motif tajuk ayun. Ela berjalan mendekati perempuan muda itu dan berdiri di sampingnya. Ela mengamati lincahnya jari jemari perempuan muda itu memasukkan benang emas di kain berloreng merah dan hitam yang dijepit dua buah batang bambu. Tiba-tiba mata Ela terusik oleh pemandangan yang sedikit menyentil hatinya. Ternyata perempuan cantik itu seorang tuna daksa. Kaki sebelah kanannya tidak sempurna, mengecil di bagian bawah. Perempuan muda itu seperti tersadar pada tatapan aneh Ela. Ia pun menghentikan aktivitasnya, "Kamu pasti Ela, kan? Mau belajar buat kain tapis?"
"Iya, gimana Kakak bisa tau?" ucap Ela. Perempuan muda berusia sekitar 20-an tahun itu tertawa karena ucapan Ela.
“Kenalin, nama saya Ana. Panggil aja Kak Ana,” ucap Kak Ana. Kak Ana menyodorkan tangannya. Ela pun membalas jabat tangan Kak Ana.