Perempuan dan Puasa Ramadan

--FOTO ISTIMEWA
Dalam kondisi ini, haram bagi perempuan hamil untuk tidak berpuasa. Ia harus tetap menjalankan puasa selama tidak ada risiko yang memperburuk kondisinya.
Jika ia tidak berpuasa, wajib mengganti puasa di hari lain. Sama seperti orang yang sakit, perempuan hamil umumnya memiliki tiga kondisi yang berpengaruh pada keputusan apakah mereka wajib atau tidak menjalankan puasa di bulan Ramadan.
Tiga keadaan ini secara ringkas dijelaskan dalam Kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain: ''Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa. Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah. Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat.” (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, hal. 367)
Dalam konteks perempuan hamil, tatkala dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian.
Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha puasanya.
Kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha puasanya sekaligus membayar fidyah.
Mengenai dua perincian ini, dalam Hasyiyah al-Qulyubi dijelaskan: ''Perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-Adzhar.” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, hal. 76)