Tak terasa air mata Annisa mengalir. Ia meraih punggung tangan Pak Eri dan menciumnya.
"Berterimakasihlah kepada ayahmu dan Allah yang sudah memberi kamu kesempatan melalui Bapak."
Annisa mengangguk mantap, tak henti-hentinya ia berucap syukur.
"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah."
***
"Ngawur aja, kamu tuh coba banyak-banyak ngaca. Narno. Mana bisa anak buruh bisa jadi dokter!" cibir Slamet, teman kerja Sunarno yang lebih tua.
Mereka baru saja memikul karung beras, dan sedang duduk istirahat di ruko kosong. Tentu saja Slamet sedang meremehkan cerita Sunarno yang bermimpi sang anak menjadi dokter.
"Tapi saya yakin, kok. Pak. Anak saya bisa jadi dokter yang hebat. Makanya saya semangat banget ini kerjanya!" kata Sunarno, menunjukkan kegigihan lewat senyumnya. Slamet hanya tertawa kecil, mengibaskan tangannya di udara.
"Bosen deh, dengernya. Mending kamu pikirkan besok mau makan apa. Untung-untung masih bisa hidup sampai sekarang," hinanya, terdengar begitu menyakitkan. Sunarno hanya tertawa.
"Ya sudah, tidak apa-apa kalau Bapak meragukan. Saya mohon doanya saja supaya anak saya bisa dimudahkan cita-citanya," kata Sunarno.
Slamet hanya memutar bola matanya malas. "Dasar orang miskin," ucapnya lagi.
"Emang orang miskin, kenapa emangnya? Salah kalau punya mimpi yang tinggi?" suara Annisa tiba-tiba terdengar di perbincangan mereka.
Lantas Sunarno menoleh kebelakang dan mendapati sang anak yang baru saja pulang sekolah.
"Nduk, tiba-tiba dateng aja. Jangan kaya gitu ke Pak Slamet, tidak sopan," kata Sunarno, mengingatkan.
Annisa tak menjawab. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas, menunjukkan kepada dua pria itu sebuah kertas bertuliskan beasiswa kedokteran.