"A-annisa? Ini kamu?"
Yang dipanggil Annisa pun tersenyum. Ia menghampiri Pak Slamet yang kini terbaring di ranjang. "Iya, ini aku, Pak, Annisa," jawab Annisa.
Slamet mengamati Annisa dari atas sampai bawah, air matanya pun tak terasa mengalir. Ia tersenyum kecil. "Kamu benar-benar jadi dokter ya, Nak."
"Iya alhamdulillah, semua berkat Allah dan kegigihan Ayah saya." Annisa menepuk pelan pundak si perawat, lalu bertanya, "Ada apa?”
"Pasien batuk kronis dan butuh penanganan lebih. Mereka harus menyiapkan biaya," jelas si perawat.
"Gratiskan semua biayanya. Rawat beliau dengan baik. Semua saya tanggung," ucap Annisa.
Slamet terkejut, lantas terbangun dari tidurnya. "Apa? Yang benar?" tanya Slamet, terkejut.
"Sesuai ucapan Bapak dahulu," jawab Annisa.
Slamet lantas langsung menangis saat itu juga, meraih kedua tangan Annisa dan menciumnya. "Maafkan saya, Nak. Maafkan semua yang saya ucapkan dulu," sesalnya.
Annisa menarik kedua tangannya, lalu menegakkan kepala Slamet. Ia tersenyum hangat, senyum yang sama dengan milik teman lamanya, Sunarno.
"Lupakan kejadian yang sudah lalu, Pak. Saya tidak pernah marah. Ini adalah salah satu ajaran dari Ayah saya. Sekarang, Bapak cukup fokus untuk sembuh. Insyaallah saya akan selalu membantu."
Slamet yang mendengarnya pun tersenyum haru. Memang benar, keajaiban itu akan datang. Tak peduli siapa pun kita. Dengan doa dan kegigihan usaha, pasti akan memberikan hasil yang terbaik.
Annisa berharap, ia bukanlah satu-satunya yang percaya dengan pernyataan itu. (*)