Karya Olivia Ramadhani
Bimbang, mungkin itu yang sedang dirasakan oleh Annisa Putri sekarang. Dalam ruangan tidur persegi, ia terduduk di meja belajar dengan mengandalkan pencahayaan minim dari lampu kecil bergambar Doraemon. Ruangan kamarnya sengaja dibuat gelap supaya dapat bersanding dengan langit malam di balik jendela. Sudah setengah jam gadis berusia tujuh belas tahun itu berdiam di sana. Pandangannya tertuju pada selembar kertas yang sejak tadi ia genggam. Tertera sebuah tulisan hitam tercetak tebal di sana, Tunggakan Bayaran Sekolah.
Jika bisa diungkapkan, pening rasanya melihat deretan angka yang cukup banyak itu. Apalagi saat angka yang tertulis pada bagian paling bawah menunjukkan nominal yang cukup besar. Itu membuat suasana hati Annisa tak kunjung tenang.
BACA JUGA:Menepis Kecemasan Aldous Huxley
Sebagai pelajar tingkat akhir, ia sudah diberi kertas bayaran setiap semester. Tentu karena ia bersekolah di swasta dan hal itu selalu menjadi ketakutan terbesar dalam dirinya.
Ia melirik kumpulan catatan kecil yang sengaja ditempel di sekitar meja. Tulisan-tulisan itu seperti sebuah motivasi untuk Annisa mengejar harapan terbesarnya, menjadi seorang dokter. Air mata pun tiba-tiba lolos dari netra legam milik Annisa.
"Aku nggak bisa kasih ini ke Ayah," katanya, sembari meremas kertas itu.
Ya, Annisa tidak bisa. Ia tidak sanggup memberikan kertas itu pada lelaki yang sangat ia sayangi. Lelaki dengan kerutan wajah dan senyum paling hangat. Ia yang selalu bekerja serabutan demi mengabulkan harapan putri kecilnya.
BACA JUGA:Butuh Segera Guru PJOK.
Dengan keluarga yang jauh dari kata mampu, bisa sekolah pun Annisa sudah bersyukur. Namun permasalahannya, Annisa harus berkuliah untuk menjadi seorang dokter. Belum lulus saja biaya sekolah Annisa sudah sebanyak ini, apalagi kalau kuliah.
Annisa tahu umur ayahnya semakin tua, mana bisa harus terus memenuhi kemauan Annisa. Walau beliau tak pernah mengeluh, Annisa tahu berapa banyak lelah yang dipikul di punggung lebarnya itu. Annisa menghentikan lamunannya dan mengusap air mata yang masih membekas di pipi. Lalu ia beranjak bangun. Berharap esok akan ada keajaiban yang menantinya. Annisa menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Perlahan, ia memejamkan mata.
****
"Anak ayah cepet banget gedenya, tahu-tahu besok jadi dokter," kata Sunarno, nama lelaki kepala lima yang sedang mengayuh sepeda ontel.
Di belakangnya ada Annisa yang sudah memakai seragam sekolah. Ini adalah rutinitas Sunarno mengantarkan putri semata wayangnya ke sekolah sebelum ia pergi bekerja di pasar.