"Lihat, aku bisa buktiin kalau anak orang miskin ini bisa sukses nantinya!" tegas Annisa.
Sang Ayah yang melihat kertas itu terkejut bukan main. "Dari mana itu, Nak?" tanyanya.
"Dari Pak Eri. Beliau yang bantu aku untuk kejar cita-cita. Dan aku pasti bisa jadi dokter! "
Sunarno pun bangkit, memeluk tubuh mungil anak kesayangannya. Untuk pertama kalinya, Sunarno menangis, "Alhamdulillah ya, Allah."
Annisa membalas pelukan hangat dari Sunarno, perasaan haru menyelimuti mereka. Slamet yang melihat itu hanya mendengus.
"Sana usaha, kalau udah jadi dokter nanti saya berobat digratiskan. Kalau mampu," cibir Pak Slamet sambil tersenyum merendahkan
***
13 tahun kemudian.
"Uhuk-uhuk!" Siti mengusap pelan dada sang suami, berharap bisa meredakan batuknya. Kini pria paruh baya itu sedang diperiksa oleh salah satu perawat di rumah sakit.
"Bapak Slamet sudah batuk kronis, jadi harus ditangani lebih lanjut," kata perawat itu.
Mendengar itu, sang istri menatap Slamet sedih, lalu beralih ke perawat lagi. "Biayanya mahal ya, Dok?" tanya Siti ragu-ragu.
"Iya, karena butuh penanganan intensif."
"Saya sudah nggak punya uang lagi," lirih Slamet.
"Eh, Pak Slamet, ya? Sudah lama nggak bertemu."
Mendengar namanya dipanggil, Slamet menoleh. Alangkah terkejutnya Slamet, saat mendapati sosok dokter cantik dengan balutan jas putih.