Pun Ibrahim meyakini, alat musik ini memiliki daya magis yang mampu menyembuhkan autisme anak lelakinya apabila dibuat dengan cara tradisional. Sang maestro, Hamdan mengatakan, pembuatan serdam dengan cara tradisional membutuhkan sejumlah syarat yang sebenarnya sudah tidak lazim dilakukan di zaman modern.
Serdam yang dibuat secara konvensional oleh para ahli, terutama di Lampung Barat dan Pesisir, biasanya melalui beberapa langkah ritual.
Pertama memilih bambu. Bambu yang dipilih adalah bambu jenis Tamiang dengan ketebalan dan panjang yang cukup.
Kedua, menghanyutkan bambu di sungai. Setelah dipotong, ruas-ruas bambu dialirkan ke sungai yang bermuara ke laut.
Ketiga, membuat lubang melodi dan tiupan. Setelah bambu terbaik terpilih, proses pembuatan lubang melodi pentatonis dilakukan.
Setelah selesai, Serdam dikeringkan dengan cara ditancapkan di kuburan bujang atau gadis yang meninggal secara tidak wajar. Hal ini dipercaya membuat Serdam menjadi perantara bagi arwah-arwah tersebut untuk menyampaikan rasa sedih dan keinginan mereka yang belum tercapai karena meninggal di usia muda.
Syarat tersebut yakni menancapkan serdam di makam gadis atau bujang yang meninggal dunia dengan kondisi yang tidak wajar.
Tekanan dari tetua adat yang mengharuskan serdam dibuat menggunakan cara tradisional ini kemudian berbenturan dengan zaman modern.
Benturan budaya ini direpresentasikan dengan konflik antara Hamdan dengan anaknya, Jaya (diperankan Aditya Panoet), yang menolak keras cara-cara klenik sang Ayahanda.
Di sini, Jaya dengan aktivitasnya sebagai musisi musik modern sengaja dihadirkan sebagai bentuk benturan budaya yang sekarang terjadi.
Film ini diakhiri dengan kenyataan Serdam yang dibuat Hamdan untuk tetua adat itu adalah karya terakhirnya. Muncul kesedihan sang maestro di bagian akhir film. (gie/c1/fik)