LIWA - Personel Balai Besar TNBBS, TNI, Polri, BKSDA, WCS, serta support dari Dirjen Gakkum Wilayah Sumatera dan pihak terlibat lainnya yang tergabung dalam Tim Penanganan Interaksi Negatif Satwa Liar dengan Manusia terus melakukan upaya-upaya evakuasi terhadap harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) yang telah menyerang dua warga Kecamatan Suoh dan Bandarnegeri Suoh (BNS) hingga tewas.
Kepala Satuan Polisi Kehutanan (Polhut) BB TNBBS Sadatin Misri mengungkapkan, Minggu (25/2), pihaknya sudah membagi empat tim. Pertama, kedua, dan ketiga bertugas untuk mencari jeja-jejak si raja hutan tersebut. Sementara, tim keempat difokuskan pada monitoring kandang jebak yang terpasang.
Dikatakan Sadatin, dalam patroli yang dilaksanakan menemukan adanya tanda baru berupa jejak kaki harimau di Talang Sari, Bandarnegeri Suoh, Lambar. Namun, tim kehilangan jejak selanjutnya.
BACA JUGA:BIN Gadungan Minta Batalkan Dakwaan
’’Tim satu yang ditugaskan mencari tanda-tanda berupa jejak. Tetapi karena jejak mengarah ke belukar, tim satu kehilangan jejak hingga patroli mencari tanda-tanda diakhiri karena kondisi cuaca,” ungkapnya, Senin (26/2).
Selanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi, maka proses pencarian tanda-tanda dilanjutkan Senin (26/2). Pihaknya membentuk tiga tim. Di mana tim satu dan tim dua ditugaskan berpatroli mencari tanda-tanda. Selanjutnya tim tiga kembali difokuskan memonitor kandang jebak.
’’Karena terkendala hujan dan efektivitas waktu, maka petugas akan menginap di Talang yang masih ada orangnya. Sehingga besok (hari ini) pencarian tanda-tanda bisa kembali dilanjutkan,” katanya.
Menurutnya, jejak kaki yang ditemukan petugas itu hampir sama dengan jejak kaki yang ditemukan di lokasi meningalnya Sahri, warga Pekon Bumi Hantatai Kecamatan BNS. ”Kalau melihat ukuran dari jejak kaki yang ditemukan itu sama, sehingga dimungkinkan jejak kaki yang ditemukan di Talang Sari itu satu dengan yang menyerang warga beberapa waktu lalu,” tandasnya.
BACA JUGA:Pemkot Bandarlampung Bantu Korban Banjir hingga Rp1,5 M
Lebih lanjut, Sadatin mengungkapkan terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar harimau di Suoh dan BNS Lampung Barat ini karena perburuan mangsa harimau dan pembukaan lahan di kawasan hutan. Semenjak kasus satwa yang terkena jerat pada 3 Juli 2019, pihaknya intens melakukan patroli perlindungan satwa.
Menurutnya hampir tiap melakukan patroli pasti mendapatkan alat jerat baik berupa tambang maupun nilon untuk satwa mangsanya. Hal itu berkaitan kenapa satwa harimau bisa berburu sampai keluar karena jumlah populasi mangsanya yang berkurang.
“Kita hubungkan dengan hasil-hasil yang kita dapatkan di lapangan saat patroli terkait jerat yang masih banyak. Ini memang perlu edukasi ke masyarakat. Ini menjadi evaluasi bagi kita semua, kenapa ini bisa terjadi ya banyak faktor,” sambungnya.
Selanjutnya, aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan manusia juga bisa menjadi salah satu faktor kanflik ini bisa terjadi. “Karena sudah ada aktivitas dengan manusia, ya mungkin dia sudah berubah perilakunya, selama ini di alam bebas dia masih sering berhubungan dengan satwa mangsanya. Tapi dengan adanya bukaan lahan, aktivitas manusia masih ada di situ, tentunya karena hal itu dia bisa berubah tingkah lakunya,” tutupnya.
BACA JUGA:Dinas BMBK Lampung Susun Dokumen NSPK Penyelenggaraan Jalan
Sebelumnya, Komandan Kodim (Dandim) 0422/Lambar Letkol Inf. Rinto Wijaya menyampaikan bahwa masyarakat boleh melakukan pembelaan diri ketika berhadapan dengan harimau di Kecamatan Suoh dan Bandarnegeri Suoh yang dalam kurun waktu dua minggu terakhir sudah menelan dua korban jiwa. Hal ini disampaikannya Kamis (22/2) malam saat bertakziah bersama sejumlah pejabat kepolisian dan petugas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Bidang Wilayah II Liwa di kediaman (alm.) Sahpri bin Sarprak (28), warga Pekon Bumihantatai, Kecamatan BNS, yang meninggal akibat diterkam harimau.