Diletakkannya ponsel itu di atas meja. Darminah menatap foto masa kecil Ratih. Ratih yang kala itu sedang memakai baju tradisional Lampung disertai siger yang menghiasi kepalanya saat acara Hari Kartini di sekolah. Diusapnya foto itu. Rindu yang dirasakannya sudah tidak terbendung lagi. Semenjak pandemi yang merajalela, Ratih belum pernah pulang ke rumah itu.
Tangan Darminah kembali terulur meraih pigura foto yang membingkai momen sakral hidupnya. Di dalamnya, tampak sepasang pengantin yang baru saja menikah. Keduanya tampak saling tersenyum malu satu sama lain. Darminah terlihat empat puluh tahun lebih muda. Ia terlihat sedang memakai kebaya putih yang membalut tubuhnya. Bagian bawah dililitkan kain tapis dengan motif benang emas dan perak.
Tak lupa siger yang sangat menawan menghiasi kepalanya. Gelang, kalung, dan hiasan di pinggangnya yang bernuansa serba emas pun semakin menambah kesakralan. Di sampingnya, seorang lelaki tampak menawan memakai baju putih berlengan panjang. Bahunya dilingkari selendang bujur sangkar. Di bagian bawah, sang lelaki memakai celana panjang hitam yang dilapisi sarung tumpal berbahan dasar benang emas. Di bagian luar, sarung diikat sehelai kain putih dengan rumbai yang tinggi.
"Asalamualaikum, Nyai." Suara Arya yang lantang mengusir lamunan Bu Darminah. Ia menatap Arya yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri.
"Ini ikan pesanan Nyai. Tadi ibu sudah membumbui ikannya. Kalau ini, uang hasil penjualan kain tapis kemarin, Nyai."
Darminah mengangkat daun pisang yang menutupi ikan. Ikan itu tampaknya sudah siap dibakar di atas tampah.