"Aku gak sengaja denger dari kelas sebelah, tapi aku ngga tau juga kabar ini bener atau nggak," kata Fara dengan berbisik.
Ela menggangguk paham. Ia terdiam sejenak sebelum kembali bersuara.
"Kalau memang iya, bagaimana kalau kita memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan?”
"Kalau begitu, kita ajak teman-teman sekelas. Bisa kita pikirin bareng-bareng mau kasih hadiah apa untuk Bu Lia,” ucap Fara.
***
Ela sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang di kamar bernuansa dominan putih dan cokelat muda lengkap dengan lukisan-lukisan abstrak yang tersusun apik berjejer di pojok ruangan. Tepat di samping lemari kayu tersampir kain tapis bermotif tajuk ayun yang mampu memanjakan mata siapa pun yang melihatnya. Kedua netranya menatap kain tapis berhias benang emas itu. Ia sempat berpikir untuk memberikan kain tapis tersebut sebagai hadiah kepada Bu Lia. Namun, kain tapis itu adalah hasil sulaman sang nenek. Ela menghela napas panjang. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya. Ela mengusapnya dengan kasar berkali-kali. Ia merasa harus menjernihkan pikiran terlebih dahulu. Mungkin tidur lebih awal adalah jawabannya.
Tiba-tiba ....
Tok! Tok! Tok!
"Elana, makan malam sudah siap, Nak!" kata Bunda dari balik pintu. Ela terkejut.
"Iya, Bun! Tunggu sebentar!" sahut Ela. Dengan malas, ia turun dari ranjang dan berjalan gontai keluar kamar menuju ruang makan.
"Bun, Bu Lia, guru Ela, sebentar lagi sudah akan purnatugas. Ela berniat memberi sedikit barang berharga sebagai kenang-kenangan untuk Bu Lia." Ela menjeda perkataannya membuat bunda menunggu kelanjutannya.
"Ela kepikiran untuk memberikan kain tapis yang ada di kamar, tapi ....”
Bunda terdiam. Suasana sempat hening beberapa detik.
“Hm ... gimana kalau Ela buat sendiri?”
Ela yang patah semangat seakan langsung mendapat pencerahan dari Bunda. Ia tersenyum senang. Ela menganggukkan kepalanya setuju, tetapi masih ada beberapa keraguan yang mengganjal dihatinya.
"Oke, Bun, tapi dengan siapa dan di mana Ela belajar menenun tapis?”