MESUJI – Tim Mediasi Penyelesaian Kasus Pertanahan di Kabupaten Mesuji yang terdiri dari unsur Pemkab Mesuji, Polres, Kejari, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memastikan akan bersikap objektif dalam menangani konflik agraria Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sumber Indah Perkasa (SIP).
Komitmen tersebut tidak hanya disampaikan Bupati Mesuji Elfianah, tetapi juga diamini oleh seluruh unsur Forkopimda terkait.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Mesuji, Taufiq Widodo, mengungkapkan konflik antara masyarakat adat Buay Mencurung dengan PT SIP sudah berlangsung cukup lama.
Berbagai upaya mediasi telah dilakukan pemerintah daerah bersama Forkopimda. Bahkan sempat membuat masyarakat yang menduduki lahan HGU PT SIP keluar dari lokasi.
Namun, mereka kembali lagi beberapa waktu kemudian.
“Setiap kali kita lakukan mediasi, masyarakat keluar lalu masuk lagi, dan itu berulang,” ujar Taufiq.
Dalam mediasi terakhir, pemerintah meminta baik masyarakat maupun perusahaan menempuh jalur litigasi apabila merasa memiliki alas hak yang kuat.
“Kalau memang punya alas hak yang sah, silakan gugat secara litigasi atau laporkan ke polisi. Namun masyarakat Buay Mencurung tidak membuat laporan,” jelasnya.
Sebaliknya, PT SIP merasa dirugikan sehingga melaporkan tindakan masyarakat ke kepolisian. Menyikapi hal tersebut, Pemkab Mesuji bersama Forkopimda menggelar rapat untuk mencari solusi.
BPN Mesuji juga diminta mengecek lokasi dan memastikan status lahan yang diklaim. Hasilnya, lahan tersebut berada di dalam HGU PT SIP.
Atas dasar itu, PT SIP meminta pemerintah daerah dan stakeholder terkait melakukan penertiban agar masyarakat keluar dari lahan. Namun, Tim Mediasi tidak ingin gegabah.
Atas arahan Bupati Elfianah, dilakukan konsultasi ke berbagai pihak, mulai dari Kementerian Agraria, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga Komisi Perlindungan Anak.
“Langkah ini kami lakukan supaya keputusan yang diambil tidak mencederai hak-hak sipil masyarakat maupun merugikan investor,” kata Taufiq.
Pemerintah juga menggandeng akademisi Universitas Lampung (Unila). Dari hasil konsultasi dengan pakar hukum agraria maupun antropologi budaya, ditegaskan bahwa di Provinsi Lampung tidak dikenal adanya tanah adat.
“Hasil konsultasi tersebut kemudian menjadi bahan rapat kecil untuk mencari solusi penyelesaian persoalan ini,” tambahnya.